The Book

83 9 0
                                    

Juni, 2023

"Jarak...," Lyra berbisik sambil menatap wajah Liora. "kali ini, jarak yang memisahkan kita bukan lagi sebagai teman, kalau tidak bisa mengembalikanmu ke dunia yang bisa aku jangkau, Liora." suara Lyra lirih.

Lyra ingat persis kejadian malam itu di Braga, berjalan berdampingan dengan Liora di bawah lampu jalan yang hangat. Setiap langkah terasa seperti melodi tanpa suara, dan keheningan yang menyelimuti mereka seperti selimut hangat di tengah dinginnya malam. Tidak ada kebisingan yang perlu dijelaskan, hanya ada senyuman kecil, tawa ringan yang tak memecah malam, dan detik-detik yang berlalu dengan tenang.

Lyra menganggap waktu seperti lautan yang tak terbendung, mengalir tak terelakkan, menelan segala sesuatu di jalurnya. Menurutnya, lautan waktu mampu menyembuhkan luka, mengikis trauma, serta menghapus jejak-jejak penyesalan dan kehilangan. Namun, di dasar lautan itu, selalu ada ingatan yang berdiri sebagai batu karang tajam. Ia tidak larut, tidak hilang. Di sanalah ingatan berdiam, siap melukai siapa pun yang mencoba menyelam terlalu dalam. Jika waktu adalah penyembuh, maka ingatan—sebagai arus bawah yang tak terlihat—menarik kembali ke dalam luka yang Lyra pikir sudah hilang.

Saat ini, Lyra terjebak dalam kebingungan. Ia masih sangat menyayangi Liora, namun rasa itu bercampur dengan ketakutan untuk mengulangi kesalahan yang sama. Kenangan akan rasa sakit yang ditimbulkan oleh kebodohan Liora terus menghantuinya. Ia selalu ingat kenangan manis saat bersama Liora namun tidak bisa juga melupakan pahitnya.

Namun, terlepas dari semua kebingungan yang berkecamuk dalam pikirannya, Lyra menyadari bahwa ia harus mengesampingkan perasaannya terlebih dahulu. Saat ini, yang paling penting adalah berharap Liora segera sadar dan akan baik-baik saja. Ketika Lyra hendak melanjutkan membaca ke halaman berikutnya, tiba-tiba sebuah suara menginterupsi keheningan di dalam kamar rumah sakit.

"Lyra?" Suara seorang wanita memanggilnya dari pintu masuk. Lyra menoleh dan melihat wanita yang sudah ia kenali, berdiri di sana, matanya menatap Lyra dengan sedikit terkejut. "Kapan kamu datang? Kok bisa tahu Liora ada di sini?" tanyanya sambil berjalan mendekat.

"Eh, Kak Yussi," sahut Lyra, sedikit tergagap. "Maaf Kak, aku langsung masuk aja tadi. Aku tahu dari Rega, teman kampusnya Liora."

Wanita itu menatapnya sejenak sebelum tersenyum lembut. "Oh, Nggak apa-apa, Lyra, kamu nggak usah sungkan."

Lyra sedikit lega mendengar tanggapan wanita itu yang tidak mempermasalahkan kehadirannya. Meskipun ia jarang berinteraksi dengannya, ada kehangatan dalam suara wanita itu, yang membuatnya sedikit lebih nyaman.

"Liora sudah dua hari nggak sadar," lanjut wanita itu, suaranya terdengar lelah namun berusaha tegar. "Dokter bilang belum ada tanda-tanda dia akan bangun. Tapi, kita harus tetap berharap."

Mereka berdua kemudian terlibat dalam percakapan yang lebih panjang. Wanita itu duduk di kursi di samping Lyra, sementara Lyra tetap dengan posisi yang sama, menggenggam buku Liora di pangkuannya. Wanita itu bertanya bagaimana kabar Lyra sejak terakhir kali bertemu, dan Lyra menjawab pelan, sesuai dengan sifat pendiamnya.

"Aku sekarang kerja di Jakarta," kata Lyra, suaranya tenang. "Tinggal di kosan daerah Jakarta Pusat."

Wanita itu mengangguk. "Bagus, senang dengar kamu sudah mulai kerja. Jadi, kamu langsung datang begitu dengar Liora di sini?"

"Iya," jawab Lyra. "Rumah sakitnya dekat dari tempat kostku, jadi aku langsung ke sini begitu tahu."

Wanita itu tersenyum lembut, seraya mengangguk. "Terima kasih sudah datang, Lyra. Liora pasti senang kalau tahu kamu di sini."

Mereka terus berbicara, membicarakan berbagai hal, meski sesekali keheningan menyelip di antara mereka. Waktu terasa berlalu dengan cepat, dan Lyra baru sadar bahwa malam sudah semakin larut.

"Aku kayaknya pamit dulu, Kak Yussi," kata Lyra akhirnya. "Besok sore aku datang lagi, ya kak?Setelah pulang kerja."

Wanita itu menatapnya, lalu memberi senyum. "Iya, nggak usah buru-buru, Lyra. Besok datang aja kalau sempat."

Lyra mengangguk pelan, lalu bangkit dari kursinya. Namun sebelum benar-benar pergi, matanya tertumbuk pada buku yang ada di tangannya.

"Kak Yussi, boleh nggak... aku bawa buku ini?" tanyanya dengan nada pelan, penuh keraguan. "Aku mau baca di kos."

Wanita itu memandang buku yang ada di genggaman Lyra sejenak, lalu air matanya menetes tanpa ia sadari. "Tentu, nggak apa-apa. Bawa aja. Tadi kamu baru sempat baca sebentar di sini, kan?"

"Iya, Kak, aku baru baca sebentar tadi," jawab Lyra, suaranya hampir berbisik.

"Oke,"  Wanita itu menarik napas panjang sebelum melanjutkan, "sebelumnya aku, sebagai kakaknya Liora, mau minta maaf sama kamu. Terlepas dari apa yang nanti akan kamu ketahui dari buku itu, aku tahu Liora... dia sebenarnya sayang banget sama kamu. Tapi mungkin caranya yang salah."

Kakak Liora itu menatap Lyra dalam-dalam, suaranya lirih namun penuh keyakinan.

"Maafin Liora, ya? Aku tahu, memaafkan nggak akan mengubah apa yang sudah terjadi. Tapi aku yakin, itu bisa mengubah apa yang akan terjadi. Kamu pasti ngerti."

Lyra terdiam. Perkataannya begitu membingungkan, apalagi terkait sesuatu yang ia belum sepenuhnya pahami. Dia hanya menunduk, menatap buku yang kini ia genggam erat di tangannya. Dengan perasaan campur aduk, Lyra mengangguk pelan dan mencoba tersenyum kecil sebagai jawaban. "Terima kasih, Kak," ucapnya, seraya memohon diri kemudian perlahan meninggalkan ruangan.

TERMODINAMIKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang