Tentang Jarak

82 10 0
                                    

Aku adalah refleksi ekstrem dari apa yang terjadi ketika seorang pemuda tersesat di persimpangan pilihan— dan terlambat menyadari fakta bahwa waktu adalah dimensi yang bergerak hanya satu arah, tidak bisa bergerak sebaliknya.

--------------------------------------------------

Agustus, 2018

Sudah hampir dua bulan sejak Aku dan Lyra resmi berpacaran, dan hubungan kami semakin diuji oleh jarak. Jakarta-Bandung terasa lebih jauh daripada yang kubayangkan. Bukan hanya kilometernya, tapi juga kesibukan dan rutinitas baru di kampus. Hari-hari Ospek yang melelahkan, tugas-tugas pertama sebagai mahasiswa, dan lingkungan baru yang harus aku adaptasi perlahan-lahan menyita waktu dan pikiran. Di tengah semua itu, tentu saja pikiranku terus kembali ke Lyra.

Setiap pagi, aku bangun dengan harapan ada pesan darinya, hanya sekadar ucapan selamat pagi atau cerita singkat tentang bagaimana harinya di Bandung. Meski jarak memisahkan, pesan-pesan singkat itu menjadi penghubung kecil yang membuatku merasa dekat dengannya. Meskipun kami jarang berbicara panjang lebar, setiap kata yang dikirimkan Lyra terasa seperti cermin dari kepribadiannya yang memang pendiam. Dia tidak pernah berkata lebih dari yang perlu, demikian halnya denganku.

Aku memang kurang ahli dalam basa-basi lewat pesan singkat atau panggilan video. Selama ini, kupikir bisa saling mengabari dan mengetahui bahwa dia baik-baik saja sudah cukup bagiku. Namun, ternyata masih banyak yang belum kumengerti tentang wanita—atau tentang Lyra, tepatnya. Menurutnya, justru semenjak berpacaran, sikapku berubah menjadi dingin.

Selain memang tidak pandai berbasa-basi, aku juga terlalu larut dalam euforia kehidupan kampus. Ada begitu banyak hal yang menarik perhatianku di sini. Aku bergabung dengan beberapa organisasi kampus; mengikuti berbagai kegiatan dan nongkrong hingga larut malam. Mencoba beradaptasi dengan lingkungan baru yang serba asing bagiku. Rasanya, hari-hariku dipenuhi dengan semangat baru, tapi di tengah semua kesibukan itu, aku sadar bahwa aku telah mengabaikan Lyra.

Mungkin benar, Lyra mulai merasa diabaikan. Kami tidak banyak bicara, bahkan ketika ada kesempatan, percakapan kami terasa hambar. Aku tahu, aku yang bersalah. Di satu sisi, aku ingin lebih banyak waktu bersamanya, tapi di sisi lain, aku terlalu sibuk menikmati kehidupan kampus yang baru ini. Aku merasa seperti terjebak di antara dua dunia yang sama-sama penting bagiku.
Suatu malam, Lyra mengirimkan pesan teks. Pesan yang tidak seperti biasanya.

"Aku mau nonton sama teman-teman di sini, ada mantanku juga yang ikut."

Aku tertegun. Mantannya? Untuk apa dia menyebutkan hal itu? Seandainya dia tidak menuliskannya, aku mungkin akan baik-baik saja. Lagipula, dia pergi bersama teman-temannya, bukan hanya berduaan dengan pria itu. Tapi tetap saja, kenapa harus menyebutkan mantannya? Perasaan kesal muncul di dadaku. Aku merespons dengan kalimat pendek yang tak terlalu ramah, berusaha menahan perasaan cemburu yang mulai menyusup tanpa kusadari. Percakapan itu berakhir dengan sedikit cekcok. Bukan pertengkaran besar, tapi cukup untuk membuatku merasa ada yang salah.

Setelah kejadian itu, aku mulai berpikir. Mengapa Lyra merasa perlu menyebutkan bahwa mantannya akan ada di sana? Apa dia mencoba membuatku cemburu? Apa dia ingin menarik perhatianku karena merasa aku semakin tidak peduli? Perlahan, aku mulai menyadari bahwa mungkin ini cara Lyra untuk mencari perhatian, untuk melihat bagaimana aku merespons ketika ada sesuatu yang bisa mengancam hubungan kami. Dia ingin tahu apakah aku masih peduli. Dan sejujurnya, aku bisa memahami itu. Di tengah kesibukan kampus dan euforianya, aku memang mulai abai.

Aku tahu, sikapku yang dingin bukan tanpa alasan. Tapi seharusnya aku bisa lebih peka. Bukan hanya sekadar menenangkan diri dengan pikiranku sendiri, tetapi juga mendengarkan dan merasakan apa yang mungkin Lyra rasakan. Aku menyadari satu hal: dia hanya ingin aku lebih peduli, lebih hadir. Bukan sekadar lewat pesan singkat, tapi benar-benar menunjukkan bahwa aku masih memikirkannya. Bahwa meski jarak memisahkan kami, aku tetap di sisinya. Dan sekarang, aku merasa harus melakukan sesuatu. Mungkin bukan dengan kata-kata yang rumit, tapi dengan tindakan yang bisa menunjukkan bahwa aku tidak menganggap enteng perasaannya. Aku tidak ingin Lyra merasa dilupakan, meski hanya karena kesibukan sementara yang kualami.

TERMODINAMIKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang