Penyesalan

38 5 1
                                    


Aku membenci diriku sendiri. Meski berkali-kali kucoba berdamai, mencoba bangkit dan membuang kebencian itu ke dalam lautan, aku ragu ada lautan yang cukup dalam untuk menampungnya. Ombaknya selalu mengembalikannya, menghantamku tanpa henti, seperti karang yang terkikis menjadi butiran pasir, lalu terhempas kembali ke tepian. Seolah-olah itu adalah takdirku; terjebak dalam siklus yang tak akan pernah berakhir.

------------------******-----------------


Juli, 2019

Aku pernah mendengar definisi dari gangguan kejiwaan adalah melakukan hal sama berulang kali namun berharap mendapatkan hasil yang berbeda. Apakah mungkin itu yang terjadi kepadaku? Selalu berharap menemukan muara yang berbeda namun dengan mengikuti arus yang sama.

Semakin hari, aku mulai menyadari bahwa hidupku tidak lagi berjalan dalam kendali. Aku mencoba melawan, mencoba menghindar, tapi pada akhirnya, aku selalu kembali ke tempat yang sama—terperosok dalam lubang yang kugali sendiri. Setiap keputusan yang kuambil terasa seperti menambah lapisan luka baru di dalam diri.

Penyesalan selalu datang terlambat. Mungkin itulah yang sekarang kurasakan. Segala hal yang pernah kuanggap sebagai solusi kini berubah menjadi beban yang lebih berat. Aku ingin kembali ke persimpangan pilihan. Dimana semuanya belum terlambat, saat aku masih bisa memilih untuk tidak terlibat dalam semua ini. Tapi waktu tidak bisa diputar kembali, dan setiap langkah yang telah kuambil meninggalkan jejak yang tak bisa kuhapus bahkan oleh hujan tangisan.


Aku memandang diriku di cermin, wajah yang tampak lebih asing setiap hari. Ada bekas-bekas lelah yang tak bisa disembunyikan, kantung mata yang semakin menghitam, dan sorot mata yang kehilangan kehidupan. Ini bukan aku. Ini bukan orang yang seharusnya berdiri di sini, terjebak dalam kebencian yang tak ada ujungnya.

Malam-malam panjang yang kulewati dengan kepala berat, tubuh lemah, dan pikiran kosong terasa seperti neraka yang kubuat sendiri. Bagaimana aku bisa sampai ke titik ini? Aku tidak lagi tahu siapa diriku, atau apa yang kuinginkan dari hidup ini. Yang kutahu hanyalah bahwa aku semakin tenggelam, semakin jauh dari apa yang pernah kuimpikan.

Dan di tengah semua ini, ada Lyra.

Dia adalah satu-satunya alasan yang tersisa bagiku untuk tidak sepenuhnya menyerah. Tapi semakin aku larut dalam semua ini, semakin sulit bagiku untuk jujur padanya.

Bagaimana mungkin aku bisa menceritakan semuanya? Apa yang akan dia pikirkan tentangku jika dia tahu? Aku sudah menyakiti diriku sendiri dan masih bisa menanggungnya. Tapi aku tidak akan bisa tahan jika harus menanggung rasa sakit Lyra yang disebabkan olehku juga. Itu butuh kekuatan yang lebih besar daripada yang kumiliki saat ini.

Aku duduk diam di sudut kamar, dengan ponsel di tangan, menatap pesan terakhir yang dikirimkan Lyra. Hanya kata-kata sederhana, tapi cukup untuk menusuk hatiku. Aku ingin membalasnya, ingin mengatakan bahwa semuanya baik-baik saja. Tapi aku takut bahwa kebohongan itu akan lebih memiliki dampak besar dikemudian hari dibandingkan sebuah kejujuran yang pahit.

Setiap kali aku mengingat Lyra, ada perasaan bersalah yang menyelimuti seluruh tubuhku. Aku ingin berbicara jujur padanya, ingin memberitahu semuanya. Namun, setiap kali kata-kata itu hampir keluar, tenggorokanku tersumbat. Aku terlalu takut pada kenyataan bahwa mungkin dia tidak akan pernah melihatku dengan cara yang sama lagi jika dia tahu tentang apa yang terjadi selama empat hari itu—tentang siapa aku sebenarnya selama ini.

Sudah sebulan berlalu sejak hari itu, dan aku masih belum menemukan keberanian untuk mengatakan apa pun padanya. Lyra adalah Lyra, tetap seperti apa adanya—pendiam, tertutup, yang menjadikannya tidak memiliki keberanian untuk membahas hal itu lebih dalam mengapa di hari penting kami aku malah menghilang.

Dia tidak pernah memaksaku untuk menjelaskan lebih jauh setelah aku mengatakan bahwa aku akan menceritakan semuanya nanti saat kami bertemu secara langsung. Dia setuju akan hal itu, mungkin karena dia sudah tahu bahwa aku memang menyembunyikan sesuatu. Namun, justru kebisuan itulah yang perlahan menciptakan jarak di antara kami, semakin lebar dan sulit dijembatani.

Waktu itu, saat aku berada di balik jeruji, ada satu nama yang muncul dalam pikiranku untuk menyelesaikan masalah itu—Rega. Dia adalah satu-satunya yang tahu sejauh mana aku telah terjebak. Aku menghubunginya dengan harapan dia bisa membantu, dan dia memang langsung bertindak. Tanpa banyak bertanya, dia menghubungi kakakku, membuat skenario penebusan, dan menutupinya dengan sempurna. Kakakku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi sebelum akhirnya Rega menceritakan semuanya. Ketika Lyra bertanya kepada kakakku apa yang sebenarnya terjadi, ia hanya bisa memberi jawaban aman bahwa, “Liora akan baik-baik saja.”

Namun, aku tahu, tidak ada yang benar-benar baik.

Rega menggunakan uang kami, uang kotor yang sudah terkumpul dari semua transaksi, dan sudah habis untuk membebaskanku. Rasanya seperti semakin terjerat dalam jaring ini. Uang itu seharusnya menjadi jalan keluar, tapi kini malah menjadi pengingat bahwa aku tak bisa lari dari hidup yang kuciptakan.

Aku ingat saat Rega menemuiku setelah aku keluar. Wajahnya penuh rasa lega, tapi di balik itu aku bisa melihat kelelahan yang sama.

“Jangan dipikirin terus, semuanya pasti beres, Der,” katanya.

Namun, kami berdua tahu, tidak ada yang benar-benar beres. Setiap tindakan memiliki konsekuensinya, dan aku semakin tersadar bahwa aku hanya menunda kehancuran yang lebih besar.

Akhirnya, aku memutuskan pergi ke Bandung untuk menemui Lyra. Berbicara langsung dengannya, karena dia berhak tahu. Namun, di balik tekad itu, ada ketakutan yang menghantuiku—takut jika kejujuran justru akan membuatnya pergi.

Selama ini, aku memilih diam, berharap waktu akan menyembuhkan segalanya, membiarkan harapan tumbuh bahwa semuanya akan membaik dengan sendirinya. Tapi itu hanyalah ilusi yang menipuku. Aku sadar, aku tidak bisa terus seperti ini. Setiap kebohongan hanya memperpanjang luka di antara kami, membuat penderitaan ini semakin dalam.

Namun, di tengah semua kekhawatiran itu, aku masih menyimpan harapan—harapan bahwa setelah aku menceritakan semuanya, Lyra akan memberiku kesempatan kedua. Aku tahu aku telah mengecewakannya, membuat jarak yang sulit dijembatani. Tapi aku berharap, dengan kejujuran, ada ruang bagi kami untuk memperbaiki apa yang rusak. Mungkin dia akan terluka oleh kebenaran, tapi aku berharap luka itu tidak sebesar luka yang ditimbulkan oleh kebohongan.

Aku tak bisa meramal bagaimana dia akan bereaksi—apakah dia akan memaafkan, atau memilih pergi. Tapi satu hal yang kutahu dengan pasti: jika cintaku padanya benar seluas lautan, aku berharap cinta Lyra adalah kedalamannya. Dan jika cinta itu benar ada, biarlah ia menjadi jangkar kami di tengah badai yang menerpa. Menjadikannya alasan yang cukup kuat untuk kami bertahan, meski dunia di sekitar kami berusaha meruntuhkan segalanya.***

TERMODINAMIKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang