Persimpangan

63 9 0
                                    

Januari, 2019

Pertemuan waktu itu, di Bandung, menjadi titik awal ketenangan bagiku. Hubungan jarak jauh dengan Lyra, yang awalnya kupikir akan penuh kekhawatiran, ternyata bukan masalah. Meski dalam benakku selalu ada kecemasan, aku tahu itu bukan karena takut dia berpindah ke lain hati. Hubungan kami tetap hangat, cukup mesra bahkan, meskipun hanya lewat percakapan singkat di sela-sela kesibukan. Kami rutin bertukar cerita lewat pesan dan panggilan video, menjelang malam sebelum tidur, berbagi tentang apa saja yang telah kami lewati sepanjang hari. Tapi, ada satu hal yang tak pernah ku ceritakan padanya. Diam-diam, aku mulai mengenal narkoba.

Hidup hanya berdua dengan seorang kakak memang tidak mudah. Meski tidak bisa dijadikan alasan yang pantas, aku termasuk satu dari sekian banyak pemuda yang salah langkah di persimpangan pilihan hidup. Untuk biaya kuliah, aku mampu menanganinya sendiri lewat usaha jual-beli laptop yang kumiliki, meskipun ide untuk kuliah sebenarnya lebih merupakan desakan kakakku. Namun, saat itu, kondisinya berbeda. Usahaku sedang buruk. Penjualan menurun drastis, dan aku harus mencari cara lain untuk bertahan, setidaknya sementara waktu, sambil mencari kerja part-time.

Di tengah kesulitan itu, aku mengenal Rega Satria Felangi, teman dekat yang lebih dulu berkecimpung di dunia gelap narkoba. Dari dia, aku belajar bahwa ada peluang besar dalam bisnis tersebut, terutama di lingkungan kampus, tempat yang terbilang aman karena polisi jarang bisa menyusup ke dalam. Peluang itu memikat karena minim resiko jika hanya berada di lingkungan kampus. Aku memang tidak berniat menggunakan narkoba, tapi berjualan—itu cerita lain. Sebuah peluang bisnis yang menggiurkan di tengah keterpurukanku. Dan sabu, barang yang dijual Rega, sepertinya laku keras di kampus.

Awalnya, aku hanya melihat dari jauh, mencoba memahami cara kerja dunia ini. Perlahan, aku mulai terlibat. Aku hanya menjadi perantara—mengambil barang di luar kampus dan mengedarkannya di dalam.

Semua tampak sederhana: aku tidak memakainya, hanya berjualan. Rega selalu bilang, “Selama lo nggak pake, lo aman.” Dan aku mempercayainya.

Di tengah percakapan mesra dengan Lyra setiap malam, di balik rutinitas kuliah yang berjalan seperti biasa, ada sisi gelap dalam hidupku yang mulai tumbuh diam-diam. Sisi yang belum siap kubagi dengannya. Mungkin, karena aku sendiri belum siap mengakui bahwa langkah yang kuambil telah menuntunku ke arah yang lebih gelap dari sekadar kesulitan finansial atau usaha yang gagal.
Ini adalah awal dari segalanya, dan aku tak pernah menyangka betapa dalamnya aku akan tenggelam.

Di awal, semuanya tampak sederhana. Aku hanya mengambil barang dari Rega, kemudian mengedarkannya di kalangan mahasiswa kampus. Lingkungan kampus benar-benar terasa aman, hampir seperti ruang yang tak tersentuh oleh hukum. Rega punya cara sendiri untuk memastikan semuanya berjalan lancar. Dia mengenal banyak orang, dari mahasiswa hingga beberapa staf di kampus. Sebuah jaringan tersembunyi, tapi sangat kuat. Awalnya aku merasa seperti hanya sekadar roda kecil dalam mesin besar yang sudah terorganisir dengan baik.

"Lo nggak perlu takut. Semua udah gua setel," kata Rega suatu hari, saat kami bertemu di tempat biasa, sebuah warung kopi kecil di pinggir kampus. Matanya selalu tajam, penuh percaya diri. Dia selalu tahu apa yang harus dilakukan, dan aku, saat itu, mempercayainya.

Seiring berjalannya waktu, aku mulai terlibat lebih dalam. Tak hanya sekadar perantara, aku mulai mengelola distribusi barang yang masuk dan keluar kampus. Hubunganku dengan Rega semakin erat. Kami menjadi partner yang saling melengkapi. Rega, dengan jaringan kuatnya, mengatur arus barang. Aku, dengan kedekatanku pada mahasiswa, menjadi jembatan antara pemasok dan pembeli.

"Ini makin oke ya, " ujar Rega sambil tertawa suatu malam. "Nggak nyangka kita bisa atur ini semua."

Aku hanya tersenyum tipis, tapi di dalam diriku ada perasaan campur aduk. Di satu sisi, keuntungan dari bisnis ini terus mengalir. Uang yang dulunya sulit didapat dari jual-beli laptop kini mengalir dengan mudah. Namun, ada sisi lain dari diriku yang terus mempertanyakan apakah ini benar. Aku mulai menumpuk kekhawatiran, bukan karena polisi, tapi karena aku tahu, jika Lyra tahu tentang ini semua, dia pasti akan kecewa. Namun, aku terus melanjutkan.

******

Maret, 2019

Waktu terus berlalu, dan bisnis kami berkembang pesat, tidak hanya di lingkungan kampus kami, tetapi juga meluas ke kampus-kampus lain. Rega mengenalkanku kepada beberapa orang, dan di situlah kami mulai menyadari bahwa pasar narkoba tidak hanya terbatas pada mahasiswa di kampus kami. Hampir semua kampus di Jakarta memiliki karakteristik yang sama—semuanya adalah pasar yang menjanjikan.

"Kampus di Jakarta itu lahan basah untuk bisnis semacam ini, Der," kata Rega dengan tatapan serius. "Polisi nggak bisa masuk kampus. Kita bisa atur semuanya di sini tanpa perlu khawatir."

Aku mengangguk, meskipun keraguan di hatiku semakin menguat. Namun, dengan uang yang terus mengalir, semakin sulit bagiku untuk berhenti. Setiap hari, jumlah barang yang kami edarkan semakin banyak, dan kami semakin sering berhubungan dengan mahasiswa dari kampus lain. Rega juga selalu memastikan semuanya berjalan lancar.

"Kita harus tetap low profile," ujarnya saat kami duduk di sebuah lorong kampus, tempat biasa kami menghitung dan menimbang setiap bahan baru yang datang. "Selama kita nggak bikin ribut dan nggak buru-buru, semua pasti lancar. Apalagi kalau tiap eksekusinya dilakukan malam hari di kampus."

Memang benar, setiap malam, kampus adalah tempat yang tenang dan aman. Tidak ada yang mencurigai aktivitas kami selain sekadar berkumpul untuk kegiatan organisasi kampus yang memang lumrah dilakukan setiap malam. Di sinilah aku melihat sisi lain dari bisnis ini. Bukan lagi hanya soal keuntungan cepat, tetapi bagaimana jaringan yang kami bangun mulai mengakar lebih dalam. Rega bahkan mulai berbicara tentang memperluas distribusi kami ke area di luar kampus atau di luar mahasiswa sebagai target pasar—sebuah ide yang dulu tak pernah terbayangkan, tetapi kini semakin kami pertimbangkan.

Namun, semakin besar bisnis kami, semakin besar pula risikonya. Beberapa kali kami hampir kepergok oleh petugas keamanan kampus yang berpatroli untuk memastikan aktivitas mahasiswa saat malam. Tetapi, dengan strategi yang tepat, kami selalu berhasil menciptakan lingkungan yang steril.

Sementara itu, hidupku di luar aktivitas ini berjalan seperti biasa. Tak ada yang berubah di mata teman-temanku yang tidak tahu. Aku tetap mahasiswa biasa, menjalani kuliah, organisasi, bisnis jual-beli laptop dan pulang ke kos. Namun, di balik semua itu, ada sisi gelap yang terus tumbuh dalam diam. Setiap malam, aku berbicara dengan Lyra melalui panggilan video, mencoba meyakinkan diriku bahwa hidupku masih sama seperti dulu, padahal kenyataannya sudah berubah drastis.

"Liora lagi apa? Hari ini ngapain aja?" tanya Lyra suatu malam.

"Aku lagi nongkrong di kampus, biasa, organisasi kampus," jawabku. Dia tidak pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi, hanya mengira aku sibuk dengan kegiatan di kampus. Bagiku, itu adalah rahasia yang harus kubawa sendiri, sebuah beban yang semakin berat setiap harinya.

Rega dan aku terus mengembangkan bisnis ini. Setiap kali aku merasa ingin keluar, setiap kali rasa bersalah menghantamku, ada uang yang masuk, dan itu membuatku bertahan. Aku terus meyakinkan diriku bahwa ini hanya sementara, bahwa suatu hari aku bisa berhenti dan kembali ke kehidupan normalku. Namun, semakin jauh kami melangkah, semakin sulit bagiku untuk berbalik.

Inilah dunia yang kupilih, sebuah dunia di mana uang dan risiko berjalan beriringan. Dan aku tahu, suatu hari, semua ini akan sampai pada titik di mana aku harus membayar harga dari semua keputusan yang telah kuambil.***

TERMODINAMIKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang