Maaf

37 9 0
                                    

25 Juni, 2019

Setelah selesai kuliah, aku duduk di bawah pohon besar di halaman kampus, menunggu waktu untuk menjemput bahan nanti malam. Pikiran melayang, antara urusan dengan Rega dan rencana anniversary bersama Lyra. Aku memutuskan untuk menelfon Lyra lebih dulu, memastikan bagaimana harinya sebelum aku menunaikan janji terakhir yang kubuat kemarin dengan Rega.

"Hai, Lyra, lagi ngapain?" sapaku saat dia mengangkat telepon.

"Halo, nggak ada apa-apa. Lagi di kos aja baru pulang, kamu sendiri?" jawabnya lembut.

"Sama, baru kelar kelas. Tapi masih di kampus. Oh iya, tadi malam aku mimpiin kamu."

"Oh ya?" tanyanya, terdengar penasaran. "Mimpi apa?"

"Di mimpi itu, kita udah nikah. Punya anak perempuan, cantik banget," jawabku, mencoba menggambarkan sejelas mungkin.

Lyra tertawa kecil di ujung sana. "Darimana kamu tahu muka anak kita bakalan cantik banget?"

Aku tersenyum, membayangkan wajahnya. "Aku cuma tahu aja."

"Nggak mungkin. Gimana kamu bisa tahu muka anak kita, kalau belum pernah lihat aslinya?" tantangnya, terdengar menggoda.

"Mimpi kan memang sesuatu yang belum pernah kita lihat, kan?" balasku santai.

"Iya, memang," jawab Lyra pelan, seperti berpikir. "Tapi mimpi tuh biasanya kayak pemandangan yang aneh atau ketemu seseorang tapi lupa itu siapa pas bangun. Itu beda."

Aku tertawa kecil. "Ya, tapi intinya, kalau aku bisa mimpi tentang masa lalu, kenapa nggak bisa mimpiin masa depan?"

Lyra terdiam sejenak, sebelum akhirnya berkata, "Mungkin kamu bisa. Mungkin."

   ******

Telepon dengan Lyra berakhir dengan senyum kecil yang bertahan lebih lama dari biasanya. Suaranya masih terngiang di kepalaku saat aku bersiap-siap untuk malam ini. Rasanya aneh—satu sisi ingin segera menyelesaikan urusan penjemputan terakhir ini, tapi di sisi lain, ada rasa berat yang tak bisa kutepis. Seakan, dengan setiap langkah yang kuambil menuju malam ini, aku semakin menjauh dari sesuatu yang benar.

Aku pulang ke kosan, membuang tas ke pojokan kamar dan meraih jaket. Dalam hati, kuingat-ingat kembali percakapan tadi dengan Lyra. Tentang mimpi, tentang masa depan. Seandainya hidup bisa sesederhana mimpi—seperti saat kau tahu segalanya akan baik-baik saja, tanpa perlu terlalu banyak memikirkan realita. Tapi kenyataannya, masa depan tidak pernah sejelas itu.

Aku menghela napas, membuka jendela kamar agar udara malam bisa masuk. Jam sudah hampir menunjukkan pukul 9 malam, waktu yang tepat untuk menyiapkan segalanya. Sebentar lagi, aku akan jalan, menjemput ‘bahan’ terakhir yang katanya akan mengakhiri semuanya. Setelah ini, pikirku, hidupku akan normal kembali. Setelah malam ini, aku bisa fokus ke Lyra, ke rencana anniversary kami di Bandung.

Ponselku bergetar di atas meja. Sebuah pesan dari Rega.

"Orangnya udah ditempat biasa, jangan telat, Der. Nanti habis jemput, mampir dulu aja ke rumah gua, ya."

Aku memandangi pesan itu sejenak, jantung berdegup sedikit lebih kencang dari biasanya. Semua rasa ini—keraguan, ketakutan, harapan—bercampur aduk. Seperti biasa, aku mencoba mengabaikan perasaan tak nyaman itu dan berdiri, meraih kunci motor yang tergeletak di atas meja. Satu langkah lagi, pikirku, satu langkah terakhir. Setelah ini, aku bebas.

Saat berjalan menuju pintu, bayangan Lyra kembali memenuhi pikiranku. Wajahnya, suaranya, senyumnya—semua hal tentangnya. Aku menggigit bibir, menepis keraguan yang semakin besar dalam dada. "Fokus, Der," bisikku pada diri sendiri. "Setelah ini, semuanya selesai."

TERMODINAMIKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang