ACAB

47 8 3
                                    


Juni, 2019

Aku berdiri di depan motor polisi, tangan diborgol erat di depan tubuhku. Polisi yang berdiri di dekatku menatap tajam, lalu menarikku kasar ke arahnya.

"Naik," katanya dingin, lalu menambahkan dengan nada ancaman, "Pegangan. Jangan coba lari atau lompat."

Dengan tangan yang terborgol, aku terpaksa mematuhi perintah itu, memeluk tubuhnya dengan canggung, membuatku tak bisa bergerak bebas.

Motor mulai melaju, deru mesinnya bercampur dengan desing angin malam yang menyayat. Setiap detik terasa semakin menyesakkan. Di balik rasa takut, pikiranku hanya tertuju pada satu hal—barang bukti di saku jaketku. Aku tahu, jika itu ditemukan, semuanya akan berakhir. Aku harus melakukan sesuatu, meskipun risikonya besar.

Aku merasakan ketegangan di tangan dan borgol yang mengikatku. Aku tidak punya banyak pilihan. Dengan gigi terkatup dan napas tertahan, aku mulai memutar-mutar ibu jariku, mencoba melepaskannya dari cengkeraman besi borgol. Sakitnya semakin menjadi, tapi aku terus mendorong, melawan rasa sakit yang menjalar hingga ke seluruh lengan. Hingga... Krak! Sebuah suara patah terdengar—ibu jariku patah. Rasa sakitnya luar biasa, tapi aku tak punya waktu untuk peduli.

Dengan tangan yang gemetar, akhirnya aku berhasil meraih saku jaketku. Rasanya seperti gerakan dalam mimpi, lambat dan menyakitkan. Aku menggenggam bahan itu di tanganku. Polisi di depanku tidak menyadari apa yang sedang kulakukan, fokusnya masih tertuju ke jalan di depan.

Saat motor sedikit melambat di tikungan, aku mengambil kesempatan itu. Dalam satu gerakan cepat, kubuang bahan itu ke semak-semak di tepi jalan, memastikan tak ada yang melihatnya bahkan polisi lain yang mengikuti dari belakang.

Rasa sakit di tanganku terasa seperti membakar, tapi ada sedikit kelegaan yang muncul. Barang bukti telah hilang, tanpa sepengatahuan polisi. Namun, rasa lega itu cepat pudar, digantikan oleh rasa takut akan apa yang akan terjadi selanjutnya.

Sesampainya di kantor polisi, aku dibawa masuk ke ruang interogasi yang dingin dan sunyi. Aku duduk, merasa tenang. Tidak ada barang bukti. Uji urinku juga akan negatif karena aku sendiri bukan pemakai. Semua pesan di ponselku, termasuk koordinat dan bukti transaksi, sudah kuhapus. Mereka tidak akan bisa menemukan apa pun. Aku berhak membela diri.

Namun ketenangan itu hanya bertahan sekejap.

Tiba-tiba pintu ruangan dibanting terbuka, beberapa polisi masuk dengan wajah merah marah. Tanpa peringatan, mereka menghujaniku dengan pukulan. Tinju pertama menghantam perutku, membuat napasku hilang sejenak. Kemudian wajahku, punggungku, bagian belakang kepalaku, mereka memukul tanpa henti. Namun anehnya, di tengah rasa sakit itu, pikiranku justru terbang ke Lyra.

Bagaimana jika dia tahu aku terlibat dalam semua ini? Bagaimana jika dia menyadari siapa aku sebenarnya? Sakit di tubuhku tidak ada apa-apanya dibandingkan rasa sakit yang akan ia rasakan.

Waktu seolah melambat di sana. Hari pertama berlalu dengan tubuhku babak belur, tapi aku tidak mengucapkan satu kata pun. Polisi terus berteriak di telingaku, menuntut nama-nama, namun aku tetap diam. Ingatanku kabur mengenai setiap detail kejadian saat itu, karena satu hal yang terus menghantuiku—hari itu tanggal 26 Juni, seharusnya aku ada di Bandung bersama Lyra, merayakan hari jadi pertama kami. Penyesalan menghantamku lebih keras daripada pukulan mereka.

Hari kedua datang, dan siklus itu terulang—pukulan, teriakan, tuntutan. Di dalam kepalaku, satu-satunya hal yang kusimpan erat adalah wajah Lyra. Tatapannya, senyumannya, dan bayangan kesedihannya yang terus menghantuiku.

Hari ketiga, tubuhku hampir tak lagi merespons. Setiap gerakan membuatku meringis, namun aku masih bisa bertahan. Tidak ada barang bukti, tidak ada pesan yang bisa mereka gunakan untuk menjeratku. Meski mereka memaksaku, aku tahu aku masih punya kesempatan untuk keluar dari sini. Tapi harga yang harus kubayar? Bayangan Lyra yang hancur oleh perbuatanku. Dan selama tiga hari itu, aku tidak bisa mengabari siapa pun. Tidak ada panggilan. Tidak ada pesan. Hanya hening yang menusuk di antara rasa sakit dan rasa bersalah yang semakin besar.

TERMODINAMIKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang