5.

146 17 3
                                    

..

Cukup lama Cessalie duduk di antara mereka, memilih untuk tidak banyak bicara, memilih untuk mendengarkan dan mengamati daripada langsung mengambil alih kendali.

Namun, para tetua desa bersikeras bahwa Cessalie harus mengambil peran sebagai pangeran.

Mereka bahkan berusaha menjelaskan bahwa kehadirannya akan membawa stabilitas pada tanah itu, dan mereka akan memberinya sumber daya dan dukungan yang Ia butuhkan.

Itu cukup menggiurkan, namun Cessalie juga masih belum tahu, keuntungan seperti apa yang akan Ia dapatkan jika mau mengambil peran.

Namun, meskipun begitu, Ia berusaha menerima tawaran mereka, dan tetap berhati-hati, sadar bahwa identitas aslinya masih bisa kembali menghantui Cessalie, apalagi fakta bahwa di mana ia di tumbalkan masih menjadi misteri.

Cessalie di tuntun untuk menyesuaikan diri dengan peran barunya, Dia akan diperkenalkan dengan berbagai aspek dalam memerintah sebuah kerajaan.

Itu amat sulit baginya, mungkin karna ia yang tak terbiasa. Kesadarannya melihat peran pemimpin yang seolah menjadi boneka di sini, membuatnya selalu mengernyitkan dahi, tanda akan ketidak nyamanan.

Lalu selain itu, Ia belajar tentang diplomasi, ekonomi, dan strategi militer.

Juga mulai menjalin hubungan dengan orang-orang, bepergian ke desa dan kota tetangga untuk membangun aliansi dan menyebarkan niat baik.

Itu benae-benar melelahkan bagi Cessalie.

Sepanjang waktu ini, Cessalie terus berjaga-jaga. Tidak pernah melupakan bahaya yang mengintai di balik bayang-bayang. Itu terus membuatnya was-was dan menjadi sedikit mudah panik.

Di sisi lain, Ia terus mempertahankan profil yang rendah hati, mempercayai sedikit orang dan berusaha untuk tidak terlihat terlalu menonjol.

Karna Ia bahkan tidak tahu, siapa dalang di balik penumbalan yang Ia alami. Dan perkataan yang di lemparkan padanya, bahwa Ia membuat mereka menderita, cukup menggocek pikiran di otaknya.

..

Penyambutan atas datangnya Cessalie, begitu ramai di gerbang utama. Seolah semua makhluk yang ada di muka bumi tengah berkumpul. Huru-hara yang sedikit membuatnya gugup.

Ia berada di kereta kuda. Keberadaanya yang terlihat oleh mereka di sambut dengan kebahagiaan yang amat dalam.

Hingga sorak-sorai terus membuat Cessalie menggaruk telinganya, bingung harus bersikap bagaimana.

Hingga suara tapak kaki kuda terhenti. Sorak ramai pun ikut menghening. pintu kereta terbuka.

Cessalie berusaha menenangkan diri, dan keluar dari kereta dengan tenang. Ia yang menunduk sedari tadi, mengangkat kepala, lurus pada figur yang berdiri tegap di seberang sana.

Mengingat tata krama yang harusnya Ia lakukan, Cessalie menurukan punggungnya, membungkuk untuk memberi hormat.

"Dengan keagunganmu yang Mulia! Ku menunduk untuk memberi salam Kepadamu."

Raja mengangkat tangan, tanda akan penerimaan sapaan dari Cessalie. Kemudian Dia berbalik dan meninggalkannya di sini.

Suasana haru yang di tinggalkan, membuat Cessalie pun tak mau berlama-lama di sini.

Ratu memandangnya pun juga dengab terharu, namun tak terbesit sekalipun di kepalanya ingin mendekati beliau. Entah karna tubuh ini memang tak terbiasa?

Beberapa laki-laki dan perempuan yang ia yakini sebagai saudara-nya. Menatapnya datar, tak di sambut, namun tak juga tak di inginkan.

Terkesan masa bodo.

Para warga dan menteri masih setia berada di tempatnya, mungkin mereka akan pulang jika Ia masuk ke dalam Istana.

Sepatu yang memberatkan langkahnya ia gerakkan, menimbulkan kelegaan bagi mereka yang takut bahwa Cessalie akan pergi kembali.

"Hidup yang mulia Pangeran!"

..

Berdiri di belakang pintu, Cessalie menahan keinginannya untuk kembali ke bilik kamarnya.

Namun apa daya jika Raja memanggilnya? apakah dia boleh menolaknya?

Helaan nafas pasrah keluar dari belah bibirnya, penggambaran yang cocok saat ia tengah merasa gugup.

"Yang mulia, Pangeran sudah tiba."

Ucap Pelayan pribadi Raja setelah memasuki kamar, dengan Cessalie yang membuntutinya.

"Tinggalkan Kami."

Tak ada sambutan lain, selain pengusirannya pada sang pelayan pribadi, seolah ketegangan hanya ada di sekelilingnya, Raja hanya terfokus pada lembaran perkamen yang terlihat sedikit kasar.

"Untuk apa kau kembali?"

Cessalie mengerjap. Harap-harap pertanyaan itu tidak di lontarkan untuknya.

Namun ketika Ia mengangkat pandangannya, pertemuan antara dua sudut pandang itu membuat Cessalie harus menelan rasa pahit di tenggorokannya.

Pertanyaan itu di tunjuk untuknya.

"Apa yang kamu bicarakan, Yang Mulia?"

Raja tak terlihat goyah, masih menatapnya dengan lurus dan serius.

Cessalie menipiskan bibirnya, Ia juga tak mengalihkan pandangannya seperti Raja, akibat tak kunjung mendapatkan apa yang sebenarnya membuat Raja terlihat begitu penasaran dengan kehadirannya kembali.

"Apa karna tak mendapatkan tempat yang nyaman?"

Cessalie menanggapinya dengan sedikit kernyitan di dahi. Perasaan tak nyaman kini membuncah, mengalahkan rasa khawatirnya seperti saat sebelum masuk ke ruangan ini.

"Cessalie, sudah berapa kali ku bilang, untuk tetap di Istana jika ingin aman?"

Mulut Cessalie terbuka, namun tak cukup waktu lama kembali terkatup. Mungkin karna tak mendapati apa yang akan ia utarakan sebagai balasan.

Hingga Raja tak merasa frustasi untuk mendapatkan jawaban dari Putra-nya.

"Kurasa ___Aku sedikit serakah." Katanya.

Menghiraukan keraguan dalam batinnya. Cessalie membasahi bibirnya.

"Seperti Yang Mulia saksikan, Aku pun, akan kembali ke tempatku lagi-"

Raja terkekeh. "Tempatmu?"

Cessalie menangguk sekali. "Istana ini, tempatku. Dan milikku."

Raja mengangguk. "Buktikan, bahwa itu bukanlah hanya sebuah omong kosong, Pangeran."

Cessalie dan Raja saling memandang. Dengan kesunyian yang mendominasi, akhirnya, Cessalie terbebas dari rasa kecanggungan yang menakutkan.

Dia bangkit. "Izinkan Saya, kembali ke kamar Saya, Yang Mulia."

Hening sebentar, lalu dengan balasan anggukan, Cessalie undur diri dengan tenang.


..


AerethTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang