Tenang?

850 33 0
                                    


Di dalam apartemen mungil mereka yang berada di lantai sepuluh, Oniel dan Indah terlihat menjalani hari-hari biasa seperti keluarga muda pada umumnya. Oline, putri mereka yang baru berusia tiga tahun, sedang asyik bermain di ruang tamu dengan boneka kesayangannya. Suara tawa kecil Oline memenuhi ruangan, memberikan suasana hangat yang nyaman.

Namun, di balik suasana hangat itu, ada rasa yang berbeda di hati Indah. Sudah beberapa minggu terakhir ini, Oniel terlihat semakin jarang terlibat dalam aktivitas keluarga. Pekerjaan di kantor semakin menuntut waktunya, membuat Oniel sering pulang larut malam dengan wajah lelah. Indah, yang awalnya mencoba memahami keadaan ini, mulai merasa bahwa ada sesuatu yang lebih dari sekadar pekerjaan.

"Mama, lihat Oline!" seru Oline sambil menunjuk bonekanya yang disusun berderet. Indah tersenyum, menepuk kepala putrinya dengan lembut. "Hebat sekali Oline! Nanti kalau Papa pulang, kita tunjukkan ya."

Oline mengangguk bersemangat, sementara Indah melirik jam di dinding. Sudah pukul delapan malam, dan Oniel belum juga pulang. Sejak beberapa bulan terakhir, Oniel memang sering pulang di atas pukul sembilan, dengan alasan pekerjaan yang menumpuk. Namun, perasaan Indah mengatakan ada sesuatu yang berbeda. Entah apa, tapi rasanya semakin nyata setiap harinya.

Pintu apartemen akhirnya terbuka. Oniel muncul dengan wajah lelah, dasinya sudah longgar, dan jaket kerja menggantung di lengannya. "Papa pulang!" Oline langsung berlari menuju Oniel, memeluk kaki ayahnya dengan riang.

"Hey, sayang. Maaf Papa pulang terlambat lagi," ujar Oniel sambil menggendong Oline. Dia mencium pipi putrinya sekilas sebelum meletakkan Oline kembali di lantai. "Kamu sudah makan?" tanyanya sambil melirik Indah yang berdiri di dapur, sedang menyiapkan makanan.

"Sudah," jawab Indah datar. "Aku sisain buat kamu. Masih hangat di panci."

Oniel tersenyum tipis dan berjalan ke dapur. "Thanks, sayang." Namun, Indah tidak membalas. Ada keheningan yang terasa kaku di antara mereka, keheningan yang sudah terbentuk beberapa minggu terakhir.

Saat makan malam, Oniel lebih banyak diam. Matanya terpaku pada layar ponselnya yang sesekali berbunyi. Indah melirik dengan ekor matanya, memperhatikan ekspresi Oniel yang tampak sedikit...bersemangat? Namun, Indah memilih tidak bertanya. Mungkin hanya urusan pekerjaan, pikirnya, mencoba menenangkan perasaannya.

Setelah makan, Oniel kembali sibuk dengan ponselnya di sofa. Oline sudah tertidur, dan Indah mulai membereskan mainan di ruang tamu. Sambil menata boneka-boneka, pikirannya terus melayang pada perubahan sikap suaminya. Dulu, Oniel tidak pernah se-intens ini dengan ponselnya. Mereka sering berbagi cerita di penghujung hari, tertawa bersama sambil menonton televisi atau membicarakan rencana masa depan. Namun, akhir-akhir ini, komunikasi mereka mulai terasa hambar.

Tak tahan lagi dengan rasa penasaran yang membuncah, Indah akhirnya memutuskan untuk bertanya.

"Oniel," panggilnya pelan. Oniel masih asyik dengan ponselnya, matanya tak beranjak dari layar.

"Oniel!" panggil Indah sekali lagi, kali ini lebih tegas.

Oniel terkejut, lalu buru-buru menaruh ponselnya di meja. "Eh, iya, sayang. Kenapa?"

Indah menatap suaminya dengan tatapan yang sulit dibaca. "Kamu sibuk banget akhir-akhir ini ya? Sampai nggak ada waktu buat ngobrol sama aku."

Oniel menghela napas, merasa ini akan jadi obrolan panjang. "Maaf, pekerjaan lagi banyak banget. Aku juga capek, ngerti kan?"

Indah menahan diri. "Iya, aku ngerti kok. Tapi aku juga merasa... ada yang beda. Kamu sering banget main hape akhir-akhir ini."

"Oh, ini?" Oniel mengangkat ponselnya, berusaha terlihat santai. "Cuma ngobrol sama teman lama, namanya Eve. Kamu ingat Eve, kan? Mantan aku waktu SMA dulu."

Indah tersentak. Nama itu langsung membawa ingatannya kembali pada masa lalu. Tentu saja dia ingat Eve, perempuan yang dulu sempat membuatnya merasa insecure di awal hubungan dengan Oniel. "Eve? Kalian masih komunikasi?"

"Ya, cuma ngobrol biasa aja. Dia kebetulan lagi balik ke kota, terus nanya-nanya soal kerjaan." Oniel menjawab dengan nada ringan, seolah tak ada yang perlu dikhawatirkan.

Indah menatap suaminya, mencoba membaca ekspresi di wajahnya. Ada sedikit ketidaknyamanan di dadanya, tapi dia memutuskan untuk tidak memperpanjang pembicaraan malam itu. Mungkin memang tidak ada yang salah, hanya perasaan paranoid sesaat. Dia tidak ingin terlalu reaktif tanpa alasan yang jelas.

Namun, malam itu, setelah Oniel tertidur, pikiran Indah terus berkecamuk. Ada sesuatu yang mengganggu hatinya. Sesuatu tentang cara Oniel menyebut nama Eve, tentang senyuman kecil yang muncul saat Oniel membaca pesan di ponselnya. Meski dia berusaha meyakinkan diri bahwa semua baik-baik saja, keraguan itu tak bisa benar-benar hilang.

Dan itulah awal dari keretakan kecil dalam hubungan mereka—keretakan yang tampaknya sepele, tetapi perlahan-lahan akan tumbuh menjadi jurang yang lebih dalam jika tidak segera diperbaiki.

KesalahpahamanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang