Hime-chan and Uchiha-Bozu

534 130 33
                                    


Aku sibuk menyiapkan pesanan, memastikan setiap mangkuk ramen sesuai dengan selera mereka masing-masing. Naruto tentu saja suka dengan tambahan telur rebus dan porsi ekstra daging, sedangkan Sakura lebih suka ramennya dengan sedikit bawang daun dan tanpa minyak berlebih. Sasuke, seperti biasa, tak banyak permintaan. Tapi aku tahu seleranya.  Ah, bocah itu tak banyak berubah sejak dulu.

Saat aku menyajikan pesanan mereka, aku memperhatikan Hinata. Hime-chan itu membuka sepasang sumpit kayu yang baru, memisahkannya dengan hati-hati. Lalu, ia menggosokkan sumpit itu satu sama lain, tampaknya untuk memastikan tak ada serabut kayu yang tersisa. Aku memperhatikannya dengan saksama, penasaran dengan gerak-geriknya yang ragu-ragu.

Lalu, dengan tangan yang agak gemetar, dia menyodorkan sumpit itu ke arah Sasuke.

"Sumimasen," bisiknya lembut, nyaris tak terdengar.

Aku menahan napas. Jujur saja, aku sedikit khawatir. Uchiha-bozu itu bisa saja tersinggung, terutama karena dia bukan tipe orang yang senang dibantu walaupun tangannya sisa satu. Tapi aku terkejut, bahkan merasa lega ketika Sasuke mengambil sumpit itu dari tangan Hinata dan mengangguk pelan. "Terima kasih," ucapnya singkat.

Hanya aku yang menyadari ada sesuatu di balik matanya. Sesuatu yang jarang terlihat. Emosi? Mungkin. Sesaat yang sangat singkat, tapi jelas ada sesuatu. Teman-temannya yang lain—Naruto, Sakura, Shikamaru, dan Ino—tak memperhatikan hal itu. Mereka sibuk dengan percakapan riuh tentang festival yang akan datang.

Naruto, seperti biasa, memulai obrolan dengan suara lantangnya. “Hei, Hinata-chan! Bagaimana persiapan stan Hyuuga? Apa semuanya sudah siap?”

Hinata tersenyum lembut, seperti biasa. “Sudah, Naruto-kun. Ko sudah mengaturnya. Kami akan menampilkan tarian kipas khas Klan Hyuuga saat malam kembang api nanti. Hanabi dan aku yang akan menari.”

Aku melihat mata Sasuke berubah saat Hinata menyebut tarian kipas. Apa itu? Aku tak bisa memastikan, tapi ada sesuatu. Dia menatap ramen di depannya sejenak, seakan terlarut dalam pikirannya sendiri. Tapi lagi-lagi, hanya aku yang melihat perubahan kecil itu. Teman-temannya tak menyadari.

Naruto, yang tak pernah peka terhadap hal-hal seperti itu, malah tampak makin antusias. “Wah, keren! Aku tidak sabar menunggu malam kembang api! Kalian pasti bakal tampil hebat, Hinata!”

Sakura tersenyum sambil menyeruput ramen, lalu menambahkan, “Tarian kipas Hyuuga selalu indah. Aku ingat pernah menontonnya beberapa tahun lalu saat kita masih kecil.”

Shikamaru yang biasanya malas-malasan, kali ini ikut berkomentar, “Hmm, pasti merepotkan. Tapi aku yakin kalian sudah siap, apalagi dengan Ko yang mengaturnya.”

Chouji hanya tertawa kecil sambil terus memakan ramennya. “Kalau begitu, setelah tarian selesai, kita semua bisa menikmati makan malam yang enak di stan-stan makanan. Aku sudah punya daftar panjang tempat-tempat yang harus kita kunjungi!”

Semua orang tertawa mendengar semangat Chouji yang tak pernah luntur soal makanan. Suasana jadi lebih hangat, tapi di sudut mataku, aku terus memperhatikan Sasuke dan Hinata.

Sasuke tak mengatakan apa-apa lagi, tapi dia terus diam, menyantap ramennya dalam hening. Sementara Hinata, meski berusaha tersenyum dan terlibat dalam percakapan, tetap terlihat sedikit canggung di samping Uchiha-bozu.

Aku penasaran, sangat penasaran. Apa sebenarnya yang akan terjadi antara Hime-chan dan Uchiha-bozu ini? Entah mengapa, aku merasa hal ini akan berakhir baik.

***

Hari ketiga festival itu, cuaca cerah, dan langit Konoha terasa begitu hangat dengan semilir angin yang sesekali datang. Wangi makanan, canda tawa, dan dentingan musik tradisional mengisi udara. Stanku ramai sejak pagi, dan aku tak bisa menyembunyikan senyum puas setiap kali seseorang menyeruput ramen buatanku dengan antusias.

ICHIRAKU RAMENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang