Bond in The Past

732 140 62
                                    

“Kotak bekalmu masih banyak tersimpan di kamar tidurku, Hyuuga.”

Hinata, yang tadi tampak bingung, kini mulai mengingat sesuatu. Raut wajahnya berubah perlahan, dari terkejut menjadi tenang. “Kotak bekal apa?”

Sasuke berhenti sejenak, seperti menimbang apakah ia harus menjelaskannya lebih lanjut, lalu dengan suara rendah, “Kotak bekal yang kau berikan saat di akademi dulu. Aku tahu awalnya kau berniat memberikannya kepada Naruto.”

Suaranya tak terdengar menyindir, hanya sekadar fakta yang diucapkan begitu saja. Tapi Hinata menggeleng pelan, dengan senyum kecil yang terlukis di bibirnya, “Tidak, Sasuke-kun. Aku memang ingin memberikannya padamu.”

Aku melirik ke arah Sasuke, menunggu reaksinya. Wajahnya tetap datar seperti biasa, tapi matanya sedikit menyipit, seperti mencerna informasi baru ini. Apa mungkin dia tak menyangka?

“Saat sesuatu terjadi pada Klan Uchiha, aku bertanya-tanya mengapa kau dan Itachi-san tidak main lagi ke Mansion Hyuuga, dan aku tidak boleh pergi ke distrik Uchiha,” Hinata melanjutkan, nadanya sekarang lebih lembut, “padahal aku ingin latihan menari dengan Bibi Mikoto.”

Aku ingat saat-saat itu. Beberapa klan memang memiliki hubungan dekat, dan Klan Hyuuga dengan Klan Uchiha memiliki sejarah persahabatan. Tapi setelah tragedi itu, segalanya berubah. Tak ada lagi Itachi atau Mikoto yang datang ke kedai, tak ada lagi anak-anak Uchiha yang riang.

“Kau tahu kan, Sasuke-kun, saat pertemuan klan, kita sering menari kipas bersama, aku, Itachi-senpai, Neji-niisan, dan Izumi-senpai.”

Sasuke hanya mengangguk perlahan. “Ya, aku ingat.”

Ah, itukah sebabnya mengapa Sasuke melihat tarian kipas Hinata dengan mata penuh nostalgia?

Aku melihat Hinata menunduk sebentar, tangannya memainkan sumpit yang sudah terpisah, lalu dia berbicara lagi, “Saat aku mengetahui hal itu terjadi, aku ingin menghiburmu, mengatakan bahwa aku ada di sini, sebagai sahabatmu. Tapi aku berpikir mungkin lebih baik kita tak terlalu dekat lagi karena mungkin saja aku bisa memicu ingatan burukmu, Sasuke-kun.”

Aku bisa melihat raut wajah Sasuke berubah tipis—halus, nyaris tak terlihat jika tidak benar-benar diperhatikan. Ada sesuatu di balik matanya, sesuatu yang hanya terlihat sekejap, namun cukup untuk membuatku yakin bahwa kata-kata Hinata menyentuh sesuatu yang mendalam dalam dirinya.

Hah... Si Uchiha-bozu ini memang pandai menyembunyikan perasaannya. Tapi di saat-saat seperti ini, di saat keheningan dan ramen yang mulai mendingin, ada hal-hal yang tak bisa disembunyikan begitu saja.

Aku diam di tempat, mendengarkan percakapan itu dengan sangat hati-hati. Rasanya setiap kata yang keluar dari mulut mereka membawa beban yang berat, sebuah kejujuran yang jarang sekali kutemui dari dua orang ini—terutama Uchiha-bozu. Dia bukan tipe orang yang berbicara panjang lebar, tapi malam ini, ada sesuatu yang lebih dari sekadar obrolan biasa.

"Saat pertama kali kita bertemu lagi dalam waktu yang lama, di sini, di kedai ini, kau mengucapkan okaerinasai padaku," suara Sasuke pelan, nyaris seperti gumaman, "seakan-akan kau memang ingin aku pulang, Hinata."

Hinata menatapnya, wajahnya lembut seperti biasanya, namun ada sesuatu yang lain di balik tatapan itu. “Aku memang menginginkan kau pulang,” ucapnya dengan suara yang sedikit gemetar, “kau sudah terlalu lelah, kulihat sorot itu di matamu, Sasuke-kun.”

Sasuke menarik napas panjang. Aku bisa melihat dia berjuang untuk tidak terlalu menunjukkan emosinya. “Aku hanya tidak tahu apa lagi hal yang harus kulakukan,” jawabnya datar, tapi ada rasa putus asa yang terasa jelas.

ICHIRAKU RAMENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang