Sasuke and His Pearls

564 110 125
                                    

Malam itu di kedai terasa hangat, meski udara dingin masih menggigit di luar. Uap dari panci kaldu yang mendidih memenuhi ruangan, menyebar kehangatan di antara rak-rak mie dan bangku kayu tua. Hinata dan Sasuke sudah beberapa kali datang bersama dalam beberapa pekan terakhir—kadang saling menunggu, kadang hanya kebetulan bertemu. Tapi tak ada yang kebetulan di dunia ini, setidaknya menurutku. Ada sesuatu di antara mereka, seperti kuah ramen yang semakin kaya rasa setelah direbus berjam-jam. Semakin padu, semakin dalam.

Malam ini, aku melihat mereka lebih dekat dari biasanya. Sasuke duduk di sebelah kiri Hinata, seperti yang sudah menjadi kebiasaan. Mereka berbicara dengan pelan, kata-kata yang hanya mereka berdua pahami. Aku berpura-pura sibuk membersihkan meja, tapi setiap gerakan mereka menarik perhatianku. Terutama saat aku melihat Sasuke menyelipkan helai rambut dari wajah Hinata dengan gerakan lembut, seperti ia menyentuh sesuatu yang rapuh dan berharga.

Aku belum pernah melihat Sasuke dengan ekspresi seperti itu—tenang, damai, seakan ia menemukan sesuatu yang ia pikir tak pernah ada dalam hidupnya. Hinata, di sisi lain, tampak salah tingkah. Wajahnya memerah, mungkin bukan hanya karena kaldu ramen yang panas. Ia mencoba menghindari tatapan Sasuke, menundukkan wajah, tapi aku bisa merasakan kehangatan yang mulai terjalin di antara mereka.

"Apa aku harus mengikat rambutku?" tanya Hinata, suaranya lembut namun terdengar sedikit gugup. Ada kepolosan dalam pertanyaannya, tapi juga harapan kecil untuk jawaban tertentu dari Sasuke.

Sasuke menatapnya tanpa ragu, sorot matanya lembut, jauh dari ketegangan yang biasa terlihat pada shinobi yang dikenal tak pernah goyah itu. "Jangan, lehermu akan kedinginan," jawabnya datar, tapi dengan kehangatan yang jarang kudengar dari mulut Sasuke.

Lalu ia menambahkan, tanpa melepaskan tatapannya dari wajah Hinata, "Kau meninggalkan syalmu di sofa rumahku."

Hinata terlihat terkejut, atau mungkin malu. Tangan kecilnya tanpa sadar menyentuh lehernya, seakan mencari syal yang tak ada di sana. "Ah, m-maaf..." bisiknya, suara yang lebih pelan dari desis api di bawah panci ramenku.

Sasuke menggeleng pelan. Aku melihatnya menatap Hinata dengan ekspresi yang tak pernah kutemui pada dirinya selama ini—ada rasa yang halus di sana, seperti ia tak ingin Hinata merasa tak nyaman di hadapannya. "Kau bisa mengambilnya besok, sekarang sudah malam, Hinata. Kau harus... pulang," katanya, meski aku merasa ada keraguan dalam suaranya di bagian akhir. Seperti ia tak ingin Hinata benar-benar pergi.

Hinata menunduk lagi, mungkin untuk menyembunyikan rona di pipinya yang semakin memerah. "Baik, aku akan mengambilnya besok," jawabnya, suaranya pelan tapi terdengar lega.

"Kau kedinginan?" Sasuke bertanya. Tangannya menyentuh leher Hinata. Ah, sepertinya aku harus memberikan mereka privasi.

Aku berpura-pura mengatur mangkuk di meja, tapi aku bisa melihat sedikit pergerakan di antara mereka.

Saat Hinata mengangkat wajahnya untuk menjawab, Sasuke mendekat, seolah waktunya melambat untuk mereka. Tak ada suara selain suara halus dari Hinata, dan dalam sekejap, bibir mereka bertemu—hanya sekilas, seperti dua rahasia yang bertukar di malam dingin itu. Ciuman yang tenang, tanpa terburu-buru, tapi penuh makna. Mereka segera berpisah, namun kehangatan itu tetap terasa di udara.

Aku berpaling sejenak, memberi mereka ruang, meski tak bisa menahan senyum kecil di wajahku. Seperti kuah kaldu yang sempurna, rasa dari hubungan mereka terus bertambah setiap kali mereka bertemu di sini—tanpa harus terlalu banyak kata. Hanya satu atau dua ciuman, sedikit tatapan dalam, dan kebersamaan yang diam-diam. Cinta yang tak butuh sorak-sorai, tapi tumbuh dalam keheningan malam, di sudut kedai ramenku.

Sasuke menarik napas, mungkin sedikit terkejut dengan keberanian dirinya sendiri. Tapi Hinata tak bergerak menjauh. Mereka tetap di sana, duduk berdampingan, dengan jarak yang hanya sedikit tapi terasa cukup untuk berbicara lebih banyak dari sekadar kata-kata.

ICHIRAKU RAMENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang