CHAPTER 9: Absensi

27 11 3
                                    

By: sheeranamaggie

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

By: sheeranamaggie



S

uhu panas menyerang tubuhku yang lemah dan memar, banyak luka bakar di sekujur tubuhku karena perlakuan dari ayah. Satu jam setelah ayah memukuliku dan meninggalkan ku sendirian menangis di ruang bawah tanah, aku mencoba untuk melepaskan diriku sendiri dari ikatan tali yang cukup kencang.

Perlahan dengan jalan ku yang tertatih tatih, aku menuju kamarku, untuk mengistirahatkan tubuh sakit ku ini, rasanya seperti tulangku remuk dan hancur semua, tidak ada yang tersisa didalam daging merahku ini.

Bahkan rasanya, pahaku seakan seperti akan meledak, aliran darah mendidih didalam daging pahaku, aku merasakan, itu seperti mengembung dan bersiap muncrat mengeluarkan semua gas udara itu kemana saja.

Tubuh lemas ku berbaring di kasurku yang empuk, merasakan hawa dingin dari selimut dan udara dingin yang mengalir dari kamarku, masuk kedalam kamar, melalui ventilasi. Karena di luar masih saja hujan deras. Sepertinya hujan itu akan menemaniku sampai aku tidur.

Mata lebam ku menatap langit langit kamar ku yang gelap, hampir tidak terlihat, karena kelopak mataku yang bengkak, setiap aku menggerakkan bola mataku, di balik lebam nya dan warna biru keunguan itu, aku merasakan sakit yang mendalam. Sakit dari luka lebam ini. Dan sakit yang dihasilkan dari luka bakar di pahaku. Sakit dari hidungku yang di tinju berkali kali, mungkin patah tulangnya.

Kelelahan menghampirku, perlahan mataku terpejam dan tertidur pulas, melupakan rasa sakit di sekujur tubuhku. Dengan hawa dingin yang menemaniku, membuat tidurku semakin pulas, mendengar suara derasnya hujan, sunyinya kamarku. Ini tidak akan menganggu tidur pulasku.

Aku tidak peduli di keesokan harinya, akan ada kejadian apa, yang kupikirkan sekarang hanyalah. Bagaimana caranya aku bisa beristirahat dengan tenang.

Mungkin besok aku tidak akan bisa bersekolah dengan tubuhku yang penuh luka seperti ini.

Hujan terus mengguyur tanah, dengan di iringi suara detik jarum jam, tidak ada yang bisa mengganggu tidur indahnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hujan terus mengguyur tanah, dengan di iringi suara detik jarum jam, tidak ada yang bisa mengganggu tidur indahnya. Waktu berlalu, munculnya cahaya sang mentari dari arah timur, menggantikan indahnya sang rembulan.

MEET YOU, AT THE SEATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang