"Besok banget ya, Bun? Emangnya gak bisa nanti aja?" tanya Nara, dia meraih poto yang ada dimeja.
"Gak bisa sayang, Bunda udah gak punya uang simpanan lagi, kita harus jual rumah ini dan pindah ke rumah nenek di Bogor."
"Kenapa harus pindah, kenapa harus Bogor, kenapa gak kita pertahanin aja rumah ini, emang gak ada cara lain apa Bun selain jual rumah?" ujarnya seraya duduk dibibir kasur.
"Rumah ini terlalu banyak kenangan indahnya, yang sayang untuk dilupain," Dona menghentikan altivitasnya dan menoleh Nara yang terlihat murung, dia menghela napas lalu menghampiri anaknya itu.
"Bunda tahu sayang kamu pasti sedih, dan Bunda juga sama." Dona duduk disampingnya.
"Tapi mau gimana lagi, Bunda gak kerja, Ayah kamu sudah gak ada. Sementara kita harus tetap hidup, dan satu-satunya cara agar kita tetap hidup kita harus jual rumah ini dan pergi ke rumah nenek kamu."
"Dan siapa tahu disana Bunda dapet kerjaan."
"Terus sekolah aku gimana?" Dona meraih dagu Nara agar menatapnya.
"Kata nenek, disana juga banyak sekolah yang bagus, dan Bunda juga sudah minta surat pindah sekolah kamu," Nara menatap sang Bunda tanpa ekspresi.
"Senyum dong!" Narapun tersenyum.
"Gitu dong! Kan cantik kalau senyum."
******
Turun dari mobil Nara langsung disambut oleh sang nenek bernama Tina yang sudah menunggu kedatangan mereka didepan ruma. Perempuan tua itu berlari kecil ke arah sang cucu dengan antusias dan langsung memeluk cucu cantiknya itu.
"Akhirnya cucuku yang cantik datang juga,"
"Sudah besar sekali kamu ini ternyata," Nara tersenyum.
"Makin cantik aja cucuku ini."
"Aduh! Sakit Nek," pekiknya ketika pipinya dicubit begitu kencang oleh Nenek Tina.
"Biarin, siapa suruh kamu jarang ke rumah Nenek, kan jadinya Nenek kangen banget sama kau." Nara berusaha melepaskan pelukan sang nenek.
"Ih kamu ini ya, mirip banget sih sama Ibumu. Susah sekali dipeluknya."
"Ya namanya juga anaknya, Bu."
"Kamu gak sayang Nenek ya? Gak kangen sama Nenek?" nenek Tina ngambek memalingkan pandangannya dari Nara sembari bersedekap dada. Semangat 45-nya hilang berubah menjadi murung.
"Gak gitu Nek, aku sayang kok sama nenek, aku juga kangen, kangen banget malah," bujuk Nara berharap sang nenek tak ngambek lagi
"Jangan marah dong, Nek! Masa gitu aja marah sih kaya anak kecil?"
"Nek, jangan marah dong!"
Tina Astuti, dia adalah nenek Nara yang sangat aneh bin ajaib, karena tingkahnya sangat tak sesuai dengan umurnya. Lihat saja sekarang, di usianya yang ke 65 ini dia ngambek cuma gara-gara tak mendapat balasan yang tak sesuai dari cucu cantiknya ini.
"Nenek," bujuk Nara lagi seraya merangkulnya. Namun, sang nenek menjauhkan tangan si cucu dari pundaknya. "Nih aku udah peluk Nenek, maafin ya!?"
"Nar."
"Iya," sahutnya seraya menoleh. "Bunda masuk duluan ya."
"Bu aku ke dalam ya." Tina tak menjawab anaknya itu.
"Kamu beneran sayang sama nenek?" tanyanya dengan suara sendu.
"Iya dong, masa bohong."
"Benaran?"
KAMU SEDANG MEMBACA
REYNARA
Random"Gue akan balikin ini kalung ke elo, tapi ada syaratnya." "Syarat?" Rey mengangguk. "Apa?" tanya Nara, "Bukan yang aneh-aneh kan?" "Nggak, cuman tiga aja kok syaratnya, gak banyak dan gak aneh." "Oke, apa aja syaratnya?" tanyanya lagi dengan malas. ...