Kring!!!
Rey terbangun dari tidurnya dalam keadaan bertelanjang dada ketika alarm diponselnya berbunyi, dia hanya mengenakan celana boxer orange bergambarkan anime naruto. Sementara itu selimut yang harusnya menghangati tubuhnya hanya menutupi bagian lutut ke bawahnya saja.
Dia meraih ponselnya lalu mematikan alarm tersebut, membuka beberapa aplikasi, namun karena tak ada yang menarik ia pun kembali mengunci layar handphonenya.
Ia beranjak dari kasur, lalu meraih handuk dan segera pergi menuju kamar mandi dengan langkah gontai.
Setelah mandi dan sudah mengenakan seragam sekolah, Rey bercermin pada kaca yang ada di depannya untuk memastikan jika saat ini dia sudah menampilkan sosok dirinya dengan versi yang paling sempurna.
Saat sudah dirasa rapih, dia kemudian berjalan ke meja tempatnya biasa belajar, mengambil dan memasukan satu-persatu perlengkapan sekolahnya ke dalam tasnya.
Setelahnya mata Rey menyapu seisi kamar mencari jaket yang biasa ia gunakan untuk pergi ke sekolah. Namun dia tidak melihatnya. Rey mencarinya didalam lemari namun tak menemukannya juga.
Kini Rey turun ke lantai bawah menuju meja makan.
"Mah jaket aku dimana ya?" tanyanya ketika sampai.
"Jaket yang mana? Jaket kamu kan banyak Rey," jawab Kinanti yang tengah sibuk menyiapkan sarapan untuk ia, suami, dan keempat anaknya.
"Yang ada gambar tong sampah dibelakangnya," sahut Rey setelah meneguk segelas air putih, lalu meletakan kembali gelasnya diatas meja. "Oh yang itu, ada kok di lemari kamu cari aja!"
"Gak ada tadi aku udah cari," jawab Rey sembari berjalan ke arah kursi yang sudah menjadi tempatnya.
"Nah tuh ada Kak Ana kamu tanya dia aja, siapa tahu dia pinjem," kata Kinanti menujuk Ana yang tengah berjalan ke arah mereka, Ana yang tidak tahu apa-apa hanya bisa memasang wajah bingung ketika Mamahnya menembak dia begitu saja.
"Apa?" tanya gadis itu menatap bingung Rey dan mamahnya.
"Kak Ana pinjem jaket gue gak?"
"Iya," jawab Ana cengengesan. Kinanti tersenyum menampilkan gigi-gigi putihnya, dia sudah tahu kelakuan anak sulungnya itu yang selalu tak izin dulu kepemiliknya ketika meminjam apapun dari adik-adiknya.
"Kan gue udah bilang kalo yang itu gak boleh," ucap Rey mengingatkan kakak cantiknya itu.
"Hah? Gue bukan yang itu, ngapain gue pinjem jaket jelek lo itu."
"Jelek-jelek asal banget ya mulut lo?! Asal Kak Ana tahu aja ya, itu tuh jaket gue yang paling mahal. Di desain khusus buat gue dan temen-temen gue doang."
"Apaan jaket butut gitu palingan berapa duit," kata Ana meremehkan. "Dan gue gak minjem jaket butut lo itu."
"Terus siapa dong kok jaket gue gak ada?"
"Mana gue tahu," Ana setengah mengangkat kedua tangannya.
"Udahlah Rey jaket kamu kan banyak pake yang lain aja apa susahnya sih!?" kata Kinanti, Rey hanya bisa menghela napas pasrah.
"Good morning all," teriak gadis periang sembari menghampiri mereka, gadis yang selalu tersenyum gembira disetiap paginya, seperti tidak pernah ada masalah dihidupnya membuat Rey iri dengan keceriaan yang dimiliki gadis imut itu. Namanya Aira, adik Rey satu-satunya, seorang perempuan yang paling Rey cintai setelah Ibunya untuk saat ini.
"Morning sayang."
"Morning Aira."
"Kak Rey kok gak jawab?" tanya Aira memanyunkan bibirnya menampilkan muka bete.
"Morning Aira adikku yang paling cantik," jawab Rey dengan nada yang di lembut-lembutkan seraya tersenyum.
"Iyalah gak mungkin ada yang ngalahin kecantikan Sertha Nazwa Aira si gadis ceria ini," sombong Aira, mendengar itu Ana hanya bisa menahan tawanya.
"Cantikan juga gue," Aira melirik kakak pertamanya itu dengan sinis.
"Kamu siapa berani bilang gitu? Kamu gak pernah ngaca ya? Pede banget sih, ngaca dong!" semua orang tersenyum melihat tingkah lucu gadis mungil itu, termasuk juga Edo sang ayah yang baru datang.
Aira duduk di kursi sebelah Ana.
Rey merasa ada kemiripan antara Aira dengan dirinya, selalu tampil dengan percaya diri yang tinggi.
Lalu dia menatap Ana dan Aira bergantian untuk menilai siapa yang lebih cantik antara dua wanita ini, dan diapun memutuskan.
'Sorry aja nih ya, Ra. Tapi bener kok Kak Ana emang lebih cantik dari kamu, hehe.' batinnya.
"Oh iya Rey, tadi kan lo bilang kehilangan jaket. Gue baru ingat sekarang, semalam gue lihat dia pake jaket yang lo banggakan itu," jelas Ana sembari menunjuk Gia yang baru duduk tepat di seberangnya, Gia membelalak, tak percaya sekaligus kesal dengan apa yang diucap kakaknya.
Gia adalah anak kedua Edo dan Kinanti sekaligus kakak dari Rey. Namun, Rey enggan menganggap cewek itu sebagai kakaknya, dia lebih menganggap Gia sebagai musuhnya. Hal itu dikarenakan kejadian dua tahun lalu.
"Apaan lo asal banget ya kalo ngomong," sewot Gia tak terima dengan tuduhan tak berdasar dari kakaknya.
"Di kemanain jaket gue?" tanya Rey dengan nada biasa saja, Gia yang duduk disampingnya reflek menoleh ke arahnya, "Jaket apaan? Gue baru dateng main tuduh-tuduh aja."
"Pasti jaket lo di buang sama dia," kompor Ana sambil menahan senyuman. "Diem lo!"
"Jaket lo yang mana? Yang ada gambar sampa di belakangnya itu?" tanya Gia yang sudah menurunkan nada bicaranya.
"Nah tuh dia tahu berarti bener dia Rey yang ngambil jaket lo" sambar Ana yang terus mengompiri adik cowok satu-satunya yang ia miliki itu.
"Diem lo!" bentak Gia dengan kesal, Ana menanggapinya dengan senyuman. Sementara itu disisi lain ada yang sedang sembunyi dalam terang.
"Bukan gue, tapi dia," tunjuk Gia ke Aira.
"Semalam kamu pake jaket itu kan, Ra, ngaku!" lanjutnya. "Ah?"
Aira hanya planga-plongo mendapati tatapan dari anggota keluarganya, menggaruk puncak kepalanya yang tak gatal sambil senyum, lalu terkekeh, "Hehe iya."
"Astagfirullah Aira kok kamu gak bilang dulu?"
Kalau yang ngambil adalah adiknya maka bisa dipastikan Rey tak akan memarahinya, dia tak tega bila harus memarahi gadis seimut Aira.
"Sekarang jaketnya mana?"
"Di kamar."
"Kamu pake tidur ya?"
"Hehe iya lupa dilepas dulu, aku ketiduran soalnya."
"Bau pasti tuh."
"Enak aja badan aku wangi ya kak."
"Iya, tapi kalau tidur kamu suka ngiler."
"Nggak."
"Taro ke cucian ah! Hari ini gue pake jaket yang lain aja."
KAMU SEDANG MEMBACA
REYNARA
Random"Gue akan balikin ini kalung ke elo, tapi ada syaratnya." "Syarat?" Rey mengangguk. "Apa?" tanya Nara, "Bukan yang aneh-aneh kan?" "Nggak, cuman tiga aja kok syaratnya, gak banyak dan gak aneh." "Oke, apa aja syaratnya?" tanyanya lagi dengan malas. ...