08

31 4 0
                                    

Saka dan Binar sudah terbiasa dengan ritme ini, hubungan tanpa status yang tidak perlu mereka definisikan. Mereka menghabiskan begitu banyak waktu bersama, bertemu hampir setiap hari, tetapi tidak ada yang bertanya apa 'status' mereka. Untuk saat ini, itu sudah cukup. Saka tidak pernah membiarkan Binar melakukan sesuatu sendiri. Baik itu melakukan sesuatu yang berat, menjemputnya sepulang kerja, atau sekadar berada di sisinya saat Binar butuh teman, dia selalu menemukan cara untuk berada di sisinya.

Binar, yang telah menghabiskan sebagian besar hidupnya melakukan semuanya sendirian, merasa hal itu membuat hatinya tenang tapi juga di sisi lain ia merasa terbebani. Binar tidak terbiasa ada bantuan terus menerus dan terkadang, karena kebiasaan, dia akan mencoba menolak bantuan Saka dengan lembut.

"Mas Saka, kamu gak perlu anter juga gapapa, aku bisa tau sendirian," katanya sambil tertawa kecil. Namun Saka hanya tersenyum, memahami alasan terdalam di balik kata-katanya. Dia tahu Binar telah menjalani hidup mandiri, karena kebutuhan dan bukan pilihan. Namun, itu tidak berarti dia harus menghadapi semuanya sendirian sekarang.

Suatu malam, mereka meninggalkan kafe setelah Binar menyelesaikan shift-nya. Dia sedang mengemasi barang-barangnya, dan seperti biasa, Saka ada di sana, menunggunya di dekat pintu. Dia menawarkan diri untuk membawakan tasnya, tetapi dia menolak dengan lembut, seperti biasa. "Gapapa mas, aku bisa sendiri," katanya, "Udah saya yang bawa," Saka terdiam sejenak, menatapnya dengan mata lembut dan penuh pengertian itu. "Saya tau kamu bisa apa-apa sendiri, Binar," katanya pelan,"tapi sekarang kan ada saya, kamu gak harus ngelakuinnya lagi sendirian." Binar membeku mendengar kata-katanya. Dia merasakan sesuatu bergejolak di dalam dirinya-emosi yang dalam dan tak terucapkan yang telah dia kubur sejak lama. Selama ini, dia adalah orang yang kuat, orang yang tidak bergantung pada siapa pun. Namun, mendengar ucapan lembut Saka, ketulusan dalam suaranya, membuatnya merasa diperhatikan dengan cara yang belum pernah dia rasakan selama bertahun-tahun.

Air mata mengalir di matanya, dan sebelum dia bisa menahan diri, dia membalikkan badannya sedikit untuk menyembunyikannya. Dia tidak ingin Saka melihatnya menangis, tetapi sudah terlambat. Saka, yang berdiri di sana dengan tenang, memperhatikan bagaimana bahunya bergetar. Tanpa berkata apa-apa, Saka mengulurkan tangan dan menyentuh lengan Binar dengan lembut, cukup untuk memberi tahu Binar bahwa Saka ada di sana.

Binar menyeka air matanya dengan cepat dan berbalik ke arahnya, mencoba tersenyum. "Makasih ya mas," bisiknya, suaranya penuh dengan emosi. "Aku gak tau kenapa harus nangis, aku cuma gak terbiasa kayak gini." Saka tersenyum, memahami beratnya kata-katanya. "Kamu gak perlu jelasin apa-apa, Binar." katanya lembut. "yang penting kamu tau, saya selalu ada disini buat kamu, ya?"

.

.

.

Kemudian, saat mereka duduk di mobil Saka, suara pelan mesin mobil mengisi ruang di antara mereka. Biasanya, mereka akan membicarakan hari mereka atau membuat rencana untuk pertemuan berikutnya, tetapi malam ini, ada keheningan yang berbeda. Namun bukan hening yang tidak nyaman-itu adalah keheningan yang memberi ruang bagi sesuatu yang lebih dalam untuk muncul ke permukaan.

Binar, yang masih merasakan emosi mentah dari sebelumnya, angkat bicara."Kalo diem dulu di mobil sebentar boleh mas?" tanyanya, suaranya nyaris seperti bisikan. Saka meliriknya, mengangguk. "Boleh, kita gak perlu kemana-mana sampai kamu siap."

Mereka duduk di sana dalam keheningan malam, lampu-lampu kota bersinar lembut di sekeliling mereka. Setelah beberapa saat, Binar menarik napas dalam-dalam, jantungnya berdebar kencang saat dia bersiap untuk mengatakan apa yang telah dia simpan sendiri selama ini.

"Aku mau ngomong sesuatu mas," dia memulai, suaranya mantap, tetapi penuh dengan kegetiran. "Aku udah pengen banget ngasih tau mas sebenernya, cuma aku bingung mulainya gimana. Aku cuma gak mau bikin semuanya jadi rumit." Saka menoleh ke arahnya, perhatian penuhnya tertuju padanya saat dia mendengarkan dengan saksama. "Ini tentang keluarga aku dan kehidupan aku juga." Binar melanjutkan.

"Aku punya adik laki-laki, namanya Sohi. Sekarang umur dia udah 20 tahun dan kita tinggal bareng di apartment aku. Dari umur 2 tahun dan saat aku umur 10 tahun, dia udah aku urus mas, karena.. orang tua kita udah meninggal saat itu." Binar menarik napas lagi. "Kita dibantu sama bibi awalnya, sekolah pun keluarga bibi yang bantu biayain. Tapi saat aku udah lulus sekolah, aku mutusin buat cari kerja. Karena aku ngerasa udah cukup umur buat nyari uang dan aku gak mau ngerepotin bibi lagi."

"Setelah aku dapet kerja dan mutusin buat ngekos waktu itu, Sohi aku bawa dan aku bilang ke bibi kalo Sohi itu tanggung jawab aku. Sebenernya aku juga gak tau apa aku bisa hidup saat itu karena Sohi masih sekolah dan penghasilan akupun pas-pasan." Saka masih memperhatikan Binar tanpa pernah memotong ceritanya.

"Tapi, aku tetep jalanin semuanya. Meskipun berat, berat banget mas buat jalanin semuanya waktu itu." Mata Binar berkaca-kaca mengingat momen itu. "Aku bahkan gak tau rasanya seneng-seneng, gak tau rasanya suka sama orang, gak tau rasanya pacaran kayak orang-orang diluar sana, aku gak tau rasanya punya orang tua yang selalu ada buat anaknya disaat aku pengen cerita tetang hari aku saat itu. Hidup aku udah susah, aku udah gak mikirin apa yang aku mau, tapi aku mikirin besok makan apa, Sohi pengen apa aku selalu perjuangin buat dia bisa dapetin itu mas."

"Tara itu satu-satunya temen deket aku waktu SMA dan cuma dia yang tau apa yang aku lewatin saat itu. Aku bersyukur banget Tara gak pernah nge-judge aku karena aku miskin, dia selalu nawarin aku ini itu disaat aku gak punya apa-apa. Karena itu juga, aku gak pernah berani kenalan sama orang kalo memang gak ada kepentingan, apalagi kalo niatnya buat ngedeketin aku. Aku bakalan ngedorong mereka buat ngejauh sebelum terlambat karena aku ngerasa takut, ngerasa kalo aku cuma akan menjadi beban aja buat mereka." Suaranya bergetar saat berbicara, dan dia menunduk menatap tangannya, menghindari tatapan Saka.

"Aku gak tau awalnya gimana harus ceritain semua ini ke mas Saka. Aku cuma gak mau mas jadi ngerasa kasian sama aku atau nganggep aku jadi beban buat mas. Tapi aku cuma pengen mas Saka tau kalo hidup aku kayak gini, bahkan sampai sekarang. Apartment itu hasil usaha aku sama Sohi mas, satu-satunya aset berharga aku dan Sohi. Sohi maksa kalo dia pengen kerja part time buat bantuin aku. Tara juga ikut buat bantu aku sampai akhirnya kebeli apartment itu."

Untuk beberapa saat, suasana hening. Binar terlalu takut untuk menatapnya, untuk melihat apa reaksinya. "Meskipun sekarang Sohi udah bantu aku dengan dia kerja, tapi aku selalu nolak kalo dia ngasih uang ke aku. Aku rasa, Sohi masih tanggung jawab aku. Aku pengen dia juga bahagia dan uang yang dia dapet buat dia pakai buat apapun yang dia suka." Lanjut Binar. Namun kemudian, ia merasakan tangan Saka dengan lembut menggenggam tangannya, hangat.

"Saya minta maaf kamu harus ngelewatin semuanya sendirian ya Binar," kata Saka lembut. "Saya juga gak bisa bayangin sulitnya hidup kamu waktu itu. Tapi, saya sama sekali gak pernah nganggap kamu sebagai beban, gak pernah bahkan sedikitpun." Kata-katanya lembut namun tegas, dan saat Binar akhirnya mendongak, ia hanya melihat kebaikan dan pengertian di mata Saka. "Saya juga gak akan ngejauhin kamu setelah ini cuma karena latar belakang kamu," lanjutnya. "Saya usahakan kalo saya ada disini buat kamu dan saya juga suka kamu bukan karena ada apanya, tapi karena apa adanya dan karena itu kamu."

Hati Binar tercekat mendengar kata-katanya, dan sebelum ia menyadarinya, air matanya kembali jatuh, deras. Ia menangis menumpahkan semuanya. Namun kali ini, ia tidak merasa perlu menyembunyikannya kepada Saka. Ia membiarkannya jatuh, merasakan beban ketakutan dan rasa tidak amannya sedikit demi sedikit terangkat dengan setiap tetes air matanya. Saka meremas tangannya dengan lembut, tatapannya tak pernah lepas darinya. "Sekarang kamu udah gak sendirian lagi, Binar" bisiknya.

Pada saat itu, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Binar benar-benar mempercayainya. Ia tidak sendirian. Karena ada Saka di sisinya.

When Path Cross (EUNSEOKxWONBIN) (COMPLETED)  ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang