11

36 5 3
                                    

Malam itu, Binar berada di apartment Saka.

Binar meringkuk dalam pelukan Saka, kepalanya bersandar di dada Saka. Irama lembut detak jantung Saka  stabil dan menenangkan, pengingat yang tenang tentang pria yang telah, dengan begitu banyak kesabaran, merasuki hatinya. 

Malam ini terasa berbeda. Ada rasa kelengkapan dan kejelasan yang baru. Perasaan yang telah lama mereka pendam akhirnya diakui, dan sekarang, mereka akhirnya menjadi sepasang kekasih. Tangan Saka  perlahan membelai rambutnya, setiap usapan lembut dan menenangkan. Saka memperlakukannya seolah-olah Binar adalah hal yang paling berharga di dunianya, memeluknya seperti sesuatu yang rapuh. 

"Kok diem aja? Lagi mikirin apa?," katanya lembut, suaranya hangat dan menenangkan. Binar mendongak untuk menatapnya, senyum kecil terbentuk di bibirnya. "Gapapa, aku.. cuma seneng aja," bisiknya, jari-jari Saka dengan lembut menelusuri garis rahang Binar. "Aku masih gak percaya kita udah sampai di tahap ini" Saka terkekeh pelan, ibu jarinya menyentuh pipi Binar. "Aku juga gak nyangka," jawab Saka, matanya memantulkan kehangatan yang sama yang dirasakannya. 

"Hah? Tadi mas bilang apa?" Binar mengangkat tubuhnya. "Apa?" jawab Saka bingung. "Itu, mas nyebut diri sendiri 'aku' kan?" Saka tertawa dan langsung menarik Binar kembali ke pelukannya. "Biar gak kaku aja, itu kan yang kamu mau?" Binar mengangguk dalam pelukannya. Keheningan di antara mereka tidak canggung; keheningan itu dipenuhi dengan hubungan mendalam yang mereka berdua pahami tetapi tidak perlu dibicarakan. Kehangatan tubuh mereka saling terkait, dan perasaan hanya bersama sudah cukup. Tidak ada tergesa-gesa, tidak ada urgensi—hanya keyakinan yang tenang bahwa mereka berada di tempat yang seharusnya. 

Lalu Saka menempelkan bibirnya di dahi Binar untuk dia cium, bertahan di sana sejenak lebih lama dari biasanya. Tangannya menyusuri punggungnya, tepat di atas pinggangnya saat dia memeluknya erat. "Aku seneng kamu juga ternyata punya perasaan yang sama," gumamnya, suaranya sedikit pelan. Senyum Binar semakin lebar, dan dia mendongak ke arahnya, hatinya membengkak karena ketulusan dalam kata-katanya. "Aku juga seneng, kirain aku aja yang mau sama mas" bisiknya, jari-jarinya memainkan kain kemeja Saka. "Bahkan aku sampai mikir, kebaikan apa yang udah aku lakuin ya sampai bisa ketemu sama mas dan bisa bareng-bareng kayak gini sekarang."

Ekspresi Saka melembut, dan dia mengangkat dagu Binar untuk menatap matanya. "Jangan bilang gitu," katanya lembut. "You deserve all of this, Binar. Dan aku seneng kalo aku jadi orang yang bisa ngasih itu ke kamu." Binar merasa jantungnya berdebar mendengar kata-katanya. Saka  selalu begitu lembut, begitu baik, dan sekarang, bahkan di saat-saat hening mereka bersama, kelembutan itu tidak pernah goyah. Binar bisa merasakan cintanya dalam setiap sentuhan, setiap tatapan, dan setiap kata. Dia tidak hanya mengatakan apa yang dia rasakan tapi dia juga menunjukkannya, dengan cara yang lembut, sederhana namun mendalam. Saat tatapan mereka bertemu, suasana di antara mereka berubah, keintiman yang lebih dalam mulai terasa. Binar merasakan kehangatan menyebar melalui dirinya, tetapi itu bukan hanya fisik—itu emosional. Berada bersama Saka buatnya merasa aman, diperhatikan, dan dicintai dengan cara yang tidak pernah dia duga. 

Dia mencondongkan tubuhnya, bibirnya menyentuh bibir Saka  dengan ciuman lembut dan lambat yang menyampaikan semua yang dia rasakan. Saka menanggapi dengan ramah, tangannya bergerak untuk membelai bagian belakang kepala Binar saat ia memperdalam ciuman, masih pelan namun penuh dengan intensitas yang tenang. Tidak terburu-buru; itu disengaja, lembut, dan penuh dengan janji akan sesuatu yang lebih. Setiap gerakan, setiap napas, adalah cerminan betapa ia menyayanginya. Ketika mereka akhirnya menjauh, dahi mereka saling menempel, keduanya terengah-engah namun tenang. Jari-jari Binar menelusuri dada Saka, matanya terbuka dan tertutup saat ia menikmati kedekatan di antara mereka.

"Aku gak tau gimana sih mas bisa ngelakuin ini semua," bisiknya, suaranya nyaris tak terdengar di ruangan yang sunyi. "Ngelakuin apa?" tanya Saka, suaranya sama lembutnya, penuh dengan rasa ingin tahu dan kehangatan. "Bisa bikin aku ngerasa kayak gini, rasanya kayak aku tuh satu-satunya orang penting di hidup mas," jawab Binar terdengar rentan. Hati Saka teriris mendengar kata-katanya, dan ia dengan lembut menangkup wajahnya, matanya melembut saat ia menatapnya. "Ya karena cuma kamu orang penting di hidup aku sekarang, Binar." Ketulusan dalam suaranya membuat dadanya sesak karena emosi. Ia menatapnya, matanya berbinar saat beban kata-katanya mulai terasa. Ia tidak perlu menanggapi dengan kata-kata; matanya mengatakan segalanya. Ia bersyukur, terharu, dan benar-benar jatuh cinta pada pria yang telah mengubah hidupnya dengan cara yang bahkan tidak ia sadari bahwa ia butuhkan.

When Path Cross (EUNSEOKxWONBIN) (COMPLETED)  ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang