09

29 5 0
                                    

Binar masih duduk di sana, tangannya sedikit gemetar saat genggaman hangat Saka menyelimuti tangannya. Ia tak dapat menahan air matanya agar tak jatuh, tetapi itu bukan lagi karena kesedihan—itu sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang tak dapat ia jelaskan sepenuhnya.

Saka, dengan kata-katanya yang lembut, juga kehadirannya, serta caranya yang tidak pernah gentar menghadapi kerentanan Binar—semuanya terasa begitu luar biasa, begitu tidak nyata untuk Binar. Saat ia terus menangis pelan, suara Saka kembali memecah keheningan malam, kali ini lebih lembut, tetapi lebih terarah. "Saya mau kamu ngelewatin semuanya sama saya, Binar," katanya, matanya tak pernah lepas dari mata Binar. Suaranya tegas, tetapi dipenuhi dengan ketulusan yang tak menyisakan ruang untuk keraguan. 

"Mau itu hari baik, buruk atau bahkan hari-hari yang gak akan pernah kita bayangin sebelumnya apa yang akan terjadi, saya mau jalanin sama kamu. Boleh?" Kepala Binar terangkat, matanya yang lebar bertemu dengan mata Saka. Ia terkejut d engan apa yang didengarnya, air matanya membeku sesaat saat ia mencerna kata-katanya. Apakah ia benar-benar bersungguh-sungguh? Apakah ini nyata? Dapatkah ia percaya bahwa seseorang,— seseorang yang baik dan lembut seperti Saka—akan bersedia berbagi beban hidup dan bekas lukanya?

.

Binar berkedip, bibirnya sedikit terbuka seolah ingin mengatakan sesuatu, tetapi tidak ada kata yang keluar. Pikirannya kacau, jantungnya berdebar kencang di dadanya. Ia telah menghabiskan begitu lama berpikir bahwa ia tidak pernah layak mendapatkan cinta seperti ini. Bagaimana mungkin ia—bagaimana mungkin seseorang—ingin bersama seseorang seperti dirinya? Seseorang yang telah melalui begitu banyak hal, yang membawa begitu banyak beban?

Saka, merasakan keraguannya, meremas tangannya dengan lembut lagi. Tatapannya semakin melembut saat ia memiringkan kepalanya sedikit, senyum kecil tersungging di bibirnya. "Binar," bisiknya, "Kamu gak perlu jawab sekarang, masih banyak waktu buat kita bareng-bareng, yang penting kamu tau kalo saya selalu usahakan ada disini, buat kamu." Kata-katanya menembus dinding tinggi yang telah ia bangun dari sejak lama di hatinya. Binar merasa tekadnya mulai runtuh saat ia menatap mata Saka. Saka tidak meminta apa pun darinya. Ia tidak menekannya. Ia hanya... di sana. Bersedia menunggu, bersedia berjalan di sampingnya, tidak peduli berapa lama waktu yang dibutuhkan.

Dia menghela napas gemetar, matanya berkaca-kaca. Dan akhirnya, setelah apa yang ia rasakan saat itu, dia mengangguk. "Aku..." dia memulai, suaranya nyaris tak terdengar. "Aku gak tau apa aku siap buat mulai semuanya, tapi.... aku mau coba, sama mas."

Senyum Saka melebar, dan dia menghela napas yang tidak disadarinya sedang ditahannya. Matanya berkilau karena lega dan sesuatu yang lain—sesuatu yang lebih dalam. Dia perlahan mengangkat tangan Binar ke bibirnya dan mencium lembut buku-buku jarinya, tanpa pernah memutus kontak mata.

"Saya seneng, denger jawaban kamu." bisiknya. "Kita coba cari tau sama-sama ya, pelan-pelan, gak usah buru-buru." Hati Binar membengkak mendengar kata-katanya. Beban ketakutannya, keraguan yang telah mengganggunya begitu lama, mulai sedikit terangkat. Ia masih tidak tahu bagaimana ini akan terjadi, tetapi untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia tidak merasa begitu takut untuk masa depannya. Karena Saka ada di sana, tepat di sampingnya.

Mereka berdua duduk di dalam mobil selama berjam-jam, tak satu pun dari mereka ingin momen itu berakhir. Mereka tidak perlu banyak bicara lagi; semua yang perlu mereka komunikasikan ada dalam kenyamanan yang ketenangan dari eksistensi mereka bersama. Itu terlihat dari cara Saka memegang tangannya, cara Binar menyandarkan kepalanya di bahunya, cara napas mereka selaras saat dunia luar terus bergerak.

Akhirnya, Saka mengecek jam tangannya dan terkekeh pelan. "Udah malem banget, Binar" katanya, suaranya penuh kasih sayang. "Saya harus nganter kamu pulang sekarang." Binar mengangguk, meskipun ia masih belum ingin pulang dan masih ingin terus bersama Saka. Ia merasa aman bersamanya, lebih dari yang pernah ia rasakan dalam waktu yang lama.

Saat mereka melaju menuju apartemennya, malam terasa lebih sunyi dari biasanya, dan lampu-lampu kota samar-samar terlihat di luar jendela. Saat mereka tiba, Saka memarkirkan mobilnya dan menoleh padanya, ekspresinya lembut. "Istirahat ya," katanya lembut, seolah tahu beratnya apa yang baru saja mereka bicarakan. "Sampai ketemu besok, oke?"

Binar ragu sejenak, jemarinya masih memegang gagang pintu. Ia belum ingin mengucapkan selamat tinggal. Namun, alih-alih berbicara, ia mencondongkan tubuhnya dan memeluk Saka, menyandarkan kepalanya di dada Saka. Lengan Saka melingkari tubuhnya, memeluknya erat, dan mereka tetap seperti itu untuk beberapa saat.

"Aku gak tau kenapa bisa beruntung banget ketemu mas," bisik Binar di dadanya. Saka tersenyum, menyandarkan dagunya di atas kepala Binar. "Kayaknya saya deh yang beruntung ketemu kamu."

Ketika mereka akhirnya berpisah, Binar menatapnya, hatinya penuh, matanya masih berkaca-kaca karena air mata yang belum berhenti. "Mas Saka, makasih ya," katanya lembut, suaranya nyaris seperti bisikan, "buat semuanya." Saka menyingkirkan sehelai rambut dari wajah Binar dan tersenyum. "Sama-sama, saya seneng bisa ada disini buat kamu." 

Saat Binar keluar dari mobil dan berjalan menuju apartemennya, Binar merasa lebih ringan daripada sebelumnya. Dia berbalik sekali lagi, melambaikan tangan kepada Saka yang sedang menatapnya dengan senyum lembut yang sama. Dan saat dia berjalan masuk, dia tahu bahwa apa pun yang akan terjadi selanjutnya, mereka akan menghadapinya bersama.

When Path Cross (EUNSEOKxWONBIN) (COMPLETED)  ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang