{06} • Sang Angin
"Ia yang tak terlihat, patutnya dihormati. Sejatinya kita tak tahu apa yang angin bawa dan sampaikan apa apa yang ia terpa"
꒷︶꒷꒥꒷‧₊˚꒷︶꒷꒥꒷‧₊˚
M
ungkin telah menjadi sebuah rutinitas wajib di Barawijaya sedari bangunan nya berdiri. Di bulan akhir tahun ini, tentunya diriku harus bergelut dengan ujian akhir semester yang membuatku harus belajar lebih ekstra mulai hari ini.
Ada banyak hal yang belum aku mengerti. Sekedar informasi bahwa materi yang aku dapat di Barawijaya sedikit berbeda dengan apa yang sempat aku pelajari saat masih bersekolah di Jakarta.
Bahkan siang ini aku memilih tidak ke kantin untuk belajar lebih ekstra. Tenang saja, aku tak akan kelaparan lagi hari ini, aku masih cukup kenyang karena sarapan dengan porsi lebih banyak daripada hari-hari sebelumnya.
Ujian nya minggu depan, masih ada banyak waktu untuk memahami seluruh mata pelajaran dari awal. Syukurlah, setidaknya aku tak terlambat untuk belajar ‘kan?
“Seriusan kamu nggak ke kantin, Ta? Nanti kalo kamu lemas karena nggak makan gimana?” Aku dapat melihat raut wajah khawatir yang Arimbi pancarkan.
Aku berdiri, mengambil tiga buku tebal di meja ku dan membawanya dengan tanganku. “Aman! aku nggak akan lapar, sana kamu ke kantin. Aku mau ke perpustakaan dulu, bye” ucapku, sembari melambaikan tangan perlahan ke arah Arimbi.
XII IPA 2 jarak nya tak terlalu jauh dengan perpustakaan, hanya melewati lorong-lorong dan berbelok ke kanan di ujung sana. Perpustakaan sudah berada di depan mata.
Ting!!
Lonceng diatas pintu berbunyi, tepat saat aku membuka pintu dan masuk ke dalam. Seluruh atensi mengarah kepadaku, sekejap, sebelum akhirnya mereka fokus pada kegiatan mereka sebelumnya.
Aku mengedarkan fokus, mencari sebuah kursi kosong. Namun nihil, perpustakaan memang telah penuh oleh murid-murid di minggu menjelang Ujian.
“Aku boleh duduk disini?” tanyaku, pada seorang laki-laki yang duduk di meja paling pojok dengan buku di depannya. Aku tak dapat melihat wajahnya yang terhalang oleh buku.
“Boleh, silahkan,”
Ia menjawab tanpa berpaling dari bukunya, kepalanya menunduk. Sangat kentara bahwa ia tak menghiraukan kehadiranku di sini. Tidak masalah, lagipula apa pentingnya, tujuan ku kesini bukan untuk itu.
Aku membuka lembar pertama buku ku, membacanya dengan cermat. Sesekali dengan menulis bagian penting dari buku paket ke buku catatan, kegiatan ini benar-benar memusingkan untuk aku yang memang sejati nya tak suka belajar.
Tiga puluh menit berlalu, aku sudah mulai pegal karena terlalu lama duduk. Mataku mulai berat, dan mengantuk. Aku memilih menengggelamkan wajahku di antara kedua tangan yang aku lipat di atas meja, tidur sebentar bukan hal yang buruk.
Rasanya baru sebentar aku terlelap, tidurku terusik karena bisikan suara asing di telingaku “Bangun, perpustakaan bukan tempat tidur,”
“Aku tau, tidak sengaja, aku kelelahan” jawabku.
Kepalaku mendongak, mengerjapkan mataku beberapa kali untuk menyesuaikan kadar cahaya yang masuk ke mata. Secara tak sengaja netra kami berdua bersinggungan, aku menatapnya, dia pun sebaliknya.
“Raden?” celetukku tanpa sadar.
“Namamu Raden ‘kan?” tanyaku lagi untuk memastikan, kalian ingat dia yang aku temui di pasar tradisional kemarin? Sepertinya laki-laki inilah orangnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
ASMARALOKA BLORA {2014}
Teen FictionAturannya, jangan jatuh cinta di Blora jika tak siap dengan kenangannya. Sayangnya aku melanggar itu semua, cinta pertama ku di sana, di kota Blora. Dan mungkin jadi yang terakhir. Berlayar panjang, aku berlabuh pada hatinya. Raden Sandyakala, yang...