{03} • Rahasia Mama.
Seluas-luasnya dunia, nggak ada yang bisa gantikan peran Mama.
----
Bel tanda istirahat menggema di seluruh penjuru Barawijaya, Bu Rani selaku guru yang mengajar di kelasku mengucapkan salam. Kemudian keluar dari kelas diikuti oleh seluruh murid murid yang berada di ruangan ini.
Aku bergegas membereskan seluruh alat tulis ku yang berserakan di meja, memasukkan nya secara bersamaan ke dalam tempat pensil berwarna biru milikku.
“Arimbi, tungguin!” teriakku pada Arimbi yang keluar kelas lebih dulu.
Ia menoleh, mendecak sambil berkacak pinggang saat melihat ku masih sibuk membereskan barang-barang milikku. Wajah nya nampak sangat kesal.
“Cepet, Ta. Aku wes lesu” ujarnya.
[Cepet, Ta. Aku sudah lapar]
Merasa sudah membereskan seluruh barang milikku, aku menghampiri Arimbi di ambang pintu kelas ini. Ia menggerakkan tangannya, memberi kode agar aku mempercepat langkahku. Sangat tidak sabaran, pikirku.
Ia mendengus “Barang itu di beresin nya lima menit sebelum bel, jadinya biar nggak butuh waktu lama. Kalau kayak gini yang antri di kantin udah banyak Ta”
Aku menoleh “Iya iya, besok-besok nggak lagi”
Ia menggerutu sepanjang jalan, membuatku bosan dengan suara mengoceh nya yang begitu berisik. Tapi, memang benar adanya jika kantin sudah ramai antrian karena keterlambatan ku.
Pundakku merosot kecewa, ketika melihat hiruk pikuk siswa-siswi yang berdesakan satu sama lain di kantin Barawijaya. “Yah… telat deh” ujarku kecewa.
“Kalau serame ini kayaknya waktu istirahat kita nggak cukup buat antre aja” Arimbi berkata demikian.
Tiba-tiba aku berinisiatif untuk keluar dari sini, mencari alternatif agar kita berdua dapat mengisi perut dan menenangkan cacing-cacing yang telah menggila di perutku ini. “Cari makan di luar sekolah aja gimana?” usulku.
Ctakk!!
Aku meringis, reflek memegang kepalaku yang baru saja mendapat jitakan oleh tangan ringan Arimbi. “Aturan Barawijaya, gerbang tidak akan dibuka sebelum waktu pulang, lupa?”
Ah, iya. Aku baru ingat akan itu, Barawijaya memang sangat ketat dengan aturan nya. Tapi bagaimana lagi, sangat tidak mungkin untuk menunggu hingga waktu pulang sekolah tiba, yang ada bisa pingsan kita berdua.
Diriku menghela napas berat, pun Arimbi yang juga melakukan hal yang sama. Pikiran ku terasa buntu, seakan tak ada jalan keluar untuk masalah yang aku cerita sekarang.
Oke, mungkin ini terlalu dramatis. Tapi tolonglah, aku benar-benar kelaparan.
“Lewat gerbang belakang” celetuk Arimbi tiba-tiba.
Belum sempat merespon ucapannya, pergelangan tangan kanan ku diraih oleh nya dan di tarik sekuat tenaga. Aku merasa tubuh ringan ku melayang ketika Arimbi berlari dan aku terpaksa mengikutinya.
Tanpa disadari aku berteriak “Arimbi!! stop! Tangan ku sakit”
Dia merperlambat laju larinya, membuatku menarik nafas lega secara perlahan. Tapi tak bertahan lama sejak aku tahu bahwa gerbang belakang yang Arimbi maksud bukan seperti pintu-pintu untuk melarikan diri seperti biasa.
Dihadapan ku kini ada tanaman-tanaman merambat yang terlihat liar, memang benar ini yang Arimbi maksud? semoga saja tidak!
“Terus kita keluar nya gimana? yakin kamu? semak-semak gini?” aku memastikan.
KAMU SEDANG MEMBACA
ASMARALOKA BLORA {2014}
Ficção AdolescenteAturannya, jangan jatuh cinta di Blora jika tak siap dengan kenangannya. Sayangnya aku melanggar itu semua, cinta pertama ku di sana, di kota Blora. Dan mungkin jadi yang terakhir. Berlayar panjang, aku berlabuh pada hatinya. Raden Sandyakala, yang...