{13} • Hanya bermain, dengan nyawa.

22 3 0
                                    


{13} • Hanya bermain, dengan nyawa

"Percuma Tuhan berikan otak secara cuma-cuma jika setiap tindakan yang kalian lakukan tidak dipikirkan dengan matang"

- Shinta Aimara.

---

“Oke-oke, kalau aku duluan yang masuk boleh kan?”

“Aku duluan!”

Kami saling menghunuskan tatapan tajam, ketika keributan terjadi begitu saja antara aku dan Mahesa. Aku mencuri-curi pandang ke dalam ruangan tempat Raden berada sekarang dengan ekor mataku.

Kemudian pandangan ku beralih pada sesosok laki-laki menyebalkan yang berdiri di hadapanku “Tujuan kamu kesini mau minta maaf ke Raden ‘kan?” tanyaku. “Mendingan sekarang kamu panggil temen-temen kamu yang lain buat kesini,”

“Nggak! Aku masuk dulu,”

“Diem dulu bisa nggak sih?!” sentakku. “Ngalah! Raden belum pulih sepenuhnya, yang ada makin trauma dia liat kamu.

Sepersekian detik kemudian, aku memanfaatkan diamnya Mahesa untuk masuk dengan segera ke ruangan dimana Raden berada. Aku hanya khawatir, trauma pembullyan yang Mahesa ciptakan akan semakin membekas jika Raden akan bertemu dengannya di masa nya yang belum sembuh sepenuhnya.

Ceklek!

Aroma obat-obatan menguar dengan cepat, tepat saat aku menginjakkan kakiku di ruangan ini. Hal pertama yang aku saksikan adalah ia─Raden Sandyakala yang duduk di atas brankar dengan wajah khawatirnya.

Pandangan ku bersibobrok dengannya, bertemu dan ia menatapku dengan lekat. “Ta,” panggilnya, lirih.

“Butuh sesuatu?” tanyaku, bersamaan dengan gerakan ku menutup pintu dengan satu tangan.

Aku menghampirinya, berdiri di depan nakas yang ada di samping brankar tempatnya duduk. Kedua tanganku sibuk menuangkan air mineral dari teko ke gelas kecil untuk memberinya minum.

“Minum dulu,” aku memberikan gelas itu padanya.

Ia menggeleng dan menolak pemberian ku, dan membuat ku mengernyit bingung. “Kenapa? Bilang, kamu butuh apa, Den?”

“Aku butuh Saskara,”

Aku terpaku dalam posisiku, Saskara? Kenapa aku melupakan nya? Padahal aku tahu, mereka adalah saudara yang sulit dipisahkan.

“Bawa dia kesini, tolong, ya?”

Mulut ku terbuka untuk menjawab perkataannya, namun belum sampai pada keluarnya suaraku, ponselku berdenting. Dengan segera aku mengeceknya, ada satu pesan dari nomor tidak dikenal.

08xxx

Ini Mahesa.
Aku udah jemput Najendra sama Sadewa, boleh masuk?

Aku mempergunakan kesempatan ini agar bisa mendatangkan Saskara kemari. Setidaknya, aku tak perlu repot-repot untuk mencari seorang anak kecil kesayangan Raden yang bahkan sama sekali tak aku kenal.

Me.
Nggak! Jemput dulu Saskara, bawa kesini.

08xxx
Saskara adiknya Raden itu?
Aku aja nggak tau dimana rumahnya.

Me.
Udah resiko, nggak mau tau aku. Jangan masuk kesini sebelum bawa Saskara.

Aku meletakkan ponselku di atas nakas, kemudian mendekatkan kursi ke brankar dan duduk di sana. “Bisa ceritain kenapa kamu bisa dibully sama Mahesa, Den?” pintaku.

ASMARALOKA BLORA {2014}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang