70 18 2
                                    

.
.
.
.
.
*****

Satu Minggu itu singkat.

Tapi dalam satu Minggu banyak hal yang terjadi, hal-hal yang tidak bisa diprediksi.

Seperti hari kematian tidak ada di kalender, tidak ada yang tau kapan itu datang.

Kabar kematian Shinichiro sampai ke Izana, dia belum sempat berdamai dengan masalah diantara mereka namun Shinichiro sudah dijemput. Miris.

Memang benar kata orang, penyesalan itu diakhir awal adalah pendaftaran. Entah siapa yang bilang.

Sudah hampir sebulan Izana murung, Azumi bahkan kesulitan menyuruhnya makan, sudah seperti orang putus cinta.

Bahkan setelah kabar kematian Shinichiro sampai, Izana tidak pulang selama seminggu.

Jika bukan karena Azumi dia pasti tidak terurus sekarang. Siang ini mereka tidak ada kegiatan selain bersantai.

"Iza, aku mau cerita."

Azumi bangun dari sofa dan menatap Izana didepannya.

"Cerita apa?"

"Jadi gini ... Sekolahku mengadakan pertukaran pelajar, dan bagi siswa yang mau akan mendapat kesempatan untuk mengikutinya." Cerita Azumi.

"Kau mau ikut?"

"Entahlah, bagaimana menurutmu?"

"Terserah padamu." Ucap Izana.

"Ish! Aku kan nanya karena ingin dengar pendapat mu!" Azumi melempar bantal ke kepala Izana.

"Bgst— " Izana menghela napasnya sebelum berkata. "Ikut saja."

"Yakin? Kalau aku tidak lolos?"

"Yasudah tidak jadi pergi."

"Kau bagaimana? Apa tidak apa jika ku tinggal?"

Izana melempar balik bantal tadi pada Azumi. "Aku bukan anak kecil lagi Azu."

"Dimata ku kau masih bayi."

"Haa ... Sinting."

"Bacot."

"Ikut saja. Kau kan pintar, kau akan lulus." Izana kembali memainkan hp nya.

"Tapi itu sekitar dua Minggu."

Izana terdiam saat Azumi mengatakan itu.

"Itu bagus." Lanjutnya.

"Kalau aku kangen kamu gimana?"

Izana menatap Azumi dengan tatapan tidak percaya. "Kau? Sejak kapan kau bisa punya perasaan seperti itu?"

"Bajingan juga kau."

"Bercanda~ kau kan bisa menelpon ku."

Azumi kembali merebahkan tubuhnya di sofa, satu lengannya menutupi matanya.

"Oh iya, setidaknya rapikan dirimu. Aku jadi ragu ingin pergi melihat mu hampir seperti gembel begitu, dan potong rambut mu nanti."

Izana mendengus kesal. "Tidak usah mengurusi ku, aku tau."

Azumi hanya berdehem pelan lalu berkata. "Aku akan ikut kalau begitu ... "

"Azu, aku juga mau cerita." Ucap Izana.

"Hm, aku mendengarkan ... "

"Aku sudah membentuknya. Tenjiku." Izana menatap Azumi.

"Tenjiku?"

"Aku akan menjadi rajanya, seperti saat kita bermain dulu. Aku akan mengendalikan semuanya."

" ... "

Azumi menurunkan tangannya dan menatap kearah Izana.

"Kakucho ikut?"

"Tentu saja, dia kan pelayanku." Izana tersenyum tipis.

"Perannya masih sama ya? Lalu, apa kau berniat mengajak ku juga?"

"Tidak."

Azumi kembali melempar bantal pada Izana. "Jahat. Aku juga ingin ikut!"

Izana hanya bisa menghela napas saat wajahnya dihantam bantal, walau tidak sakit tetap saja mengesalkan.

"Yasudah kau juga jadi pelayan ku saja."

"Mau ku lempar pakai sepatu atau pisau?^^" senyuman Azumi memang membuat merinding.

"Iya, iya, tuan putri."

"Bagus."

"Jangan menyusahkan ku."

"Aku masih lebih kuat darimu."

"Itu dulu, sekarang tidak lagi."

*****

Benar saja, setelah Azumi dinyatakan lolos untuk mengikuti pertukaran pelajar rumah jadi lebih sepi.

Izana tidak tau harus apa sekarang, bahkan belum ada seminggu setelah Azumi pergi dia sudah merindukannya.

Memang benar kalau sudah terbiasa saat hilang beda rasanya.

Entah kenapa semenjak Azumi pergi Izana jadi jarang peduli pada dirinya sendiri, sering telat makan, tidur tidak teratur, bahkan dia hampir seperti tidak merawat diri, padahal Azumi hanya pergi kurang lebih dua Minggu.

Izana sendiri heran, seberpengaruh itukah Azumi dalam hidupnya?

Padahal rasanya dia hanya marah-marah pada Izana.

Izana berdiam diri diatas kursi menatap langit dengan kosong, seharusnya sudah waktunya Azumi kembali, tapi entah kenapa Izana merasa seperti melupakan sesuatu.

"Aku merasa seharusnya aku melakukan sesuatu hari ini ... Tapi apa?" Izana menatap kosong ke langit, tidak ada semangat hidup.

"Orang yang dipanggil yang terkuat sudah jatuh, ya." Kata-kata itu terucap dari orang yang baru saja datang. "Kau seperti abu. Apa ini kesedihan karena kakakmu mati? Kurokawa Izana." Lanjutnya.

Izana mengangkat kepalanya perlahan menatap orang yang berdiri disampingnya. Kisaki tetta.

Izana menatapnya beberapa saat sebelum matanya melebar, dia segera menunduk saat sebuah sepatu hampir menghantam kepalanya.

"Apa yang?!—" Kisaki menoleh kebelakang, melihat pelaku yang melempar sepatu.

"Haloo~"

Izana mengambil sepatu sebelah kiri yang hampir mengenai kepalanya.

"Bukankah aku menyuruhmu menjemput ku?^^"

Azumi tersenyum menahan kesal, urat-urat emosi terlihat jelas diwajahnya.

"Mampus." Izana menatap Azumi. "Maaf, aku lupa."

"Lupa, ya. Apa kau tau aku menunggu seharian? Aku sudah bilang padamu semalam bagaimana kau bisa lupa? Apa yang begitu penting hingga kau lupa menjemput ku, setidaknya beritahu aku kalau kau tidak bisa! Aku bisa pulang tanpa takut kau datang saat aku sudah pergi!"

Izana hanya diam dan menyerahkan sepatu yang dipungutnya pada Azumi, tangannya meraih koper yang dibawa Azumi dan mulai berjalan mendahuluinya.

"Dan apa-apaan penampilan mu? Kau seperti gembel." Sindir Azumi.

"Kau juga, kok mau dekat-dekat dengan gembel ini?" Azumi memakai sepatunya.

"Apa-apaan kau?" Heran Kisaki.

"Ayo pulang, Azu. Dan berhentilah mengomel, aku tau aku salah." Ucap Izana tanpa menoleh.

"Jangan mengganggu Izana."

Azumi pergi menyusul Izana setelah mengatakan itu.

" ... "

*****
.
.
.
.
.

|•|From Past To Present|•| Kurokawa IzanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang