Setelah pengorbanan di perpustakaan, kehidupan di Sekolah Menengah Kejayaan Lemuria tidak kembali seperti semula. Meskipun Stella, Evan, dan Aluna berhasil mengunci kekuatan gelap dalam buku kuno, mereka semua menyadari bahwa sesuatu yang lebih besar dan lebih berbahaya sedang menunggu di balik bayang-bayang.
Sekolah itu, dengan dinding-dinding bata merahnya dan lorong-lorong berliku yang menyimpan lebih banyak rahasia daripada yang bisa diungkapkan, menjadi saksi bisu dari permainan yang lebih besar dari sekadar kehidupan sehari-hari para siswanya.
Evan Blackwood berdiri di tepi jendela kamarnya, memandangi lapangan sekolah yang kosong. Cahaya bulan purnama yang tadi malam menerangi saat mereka menutup buku kini tampak pudar di balik awan kelabu.
Sementara sekolah itu kembali pada rutinitas sehari-harinya, Evan tidak bisa mengabaikan perasaan bahwa ada sesuatu yang berubah. Pengorbanannya di perpustakaan telah meninggalkan bekas yang mendalam, sebuah kekosongan yang menggerogoti dirinya dari dalam.
Dulu, dia selalu yakin bahwa kendali adalah segalanya—bahwa dengan cukup kekuatan dan kecerdasan, dia bisa memanipulasi siapa pun dan apa pun di sekitarnya. Namun, pengorbanan itu memaksanya untuk mempertanyakan apa yang benar-benar dia miliki.
Kehilangan rasa kendali adalah pukulan terberat bagi Evan. Dia merasa seperti kehilangan inti dirinya, seolah-olah ada kekuatan yang mengalir dari dirinya bersama dengan rasa kekuasaan yang selama ini dia genggam.
Stella, dengan segala keberanian dan kecerdasannya, juga membawa beban yang serupa. Kenangan yang dia korbankan—tentang ibunya yang sedang tersenyum di bawah pohon besar di halaman belakang rumahnya—menghilang begitu saja dari ingatannya, menyisakan kekosongan yang dingin.
Meskipun mereka telah menutup satu babak, permainan jauh dari selesai. Evan menyadari bahwa meskipun buku itu telah dikunci, kekuatan gelap yang mengintai di sekolah ini masih ada, dan mungkin tidak akan pernah bisa dihentikan sepenuhnya. Sekolah Menengah Kejayaan Lemuria telah lama menjadi tempat misteri, dan Evan merasa bahwa mereka baru saja menyentuh permukaannya.
Di sisi lain sekolah, Stella duduk di atas ranjangnya, jari-jarinya menggenggam lembaran kertas yang penuh dengan simbol-simbol dari buku kuno yang sempat dia salin.
Setiap kali dia menatap simbol-simbol itu, dia merasa seolah-olah sedang ditarik ke dalam kekuatan yang lebih besar dari dirinya sendiri. Sebagian dari dirinya ingin melepaskan semuanya, melupakan apa yang terjadi di perpustakaan dan kembali menjalani hidupnya seperti sebelumnya.
Namun, perasaan kosong yang ditinggalkan oleh pengorbanan itu tidak bisa dia abaikan. Stella tahu bahwa dia telah kehilangan sesuatu yang penting, dan dia takut bahwa bagian dari dirinya mungkin tidak akan pernah kembali.
Tetapi Stella tidak menyerah. Dia tidak pernah menjadi orang yang mudah putus asa. Ada tekad di dalam dirinya, rasa lapar untuk menemukan kebenaran yang tersembunyi di balik dinding-dinding sekolah ini. Dan sekarang, lebih dari sebelumnya, dia tahu bahwa jawabannya masih ada di luar sana—di tempat-tempat yang belum pernah mereka jelajahi.
◇
Pagi hari berikutnya, suasana di sekolah terasa aneh. Meskipun para siswa berusaha menjalani rutinitas mereka dengan normal—tertawa di kantin, berbicara tentang ujian yang akan datang, atau merencanakan kegiatan ekstrakurikuler—ada kegelisahan yang menggantung di udara.
Beberapa siswa merasakan hawa dingin yang aneh ketika mereka berjalan di lorong-lorong tertentu, sementara yang lain melaporkan mendengar bisikan samar di malam hari ketika mereka tinggal lebih lama di kelas atau perpustakaan.
Stella berjalan melewati kerumunan siswa di kantin, mengamati semuanya dengan diam. Sejak malam itu, dia merasakan ada sesuatu yang tidak beres, seolah-olah sekolah ini mulai hidup dengan caranya sendiri, mengawasi setiap gerakan mereka. Dia tidak pernah menjadi orang yang percaya takhayul, tetapi setelah apa yang terjadi di perpustakaan, dia tidak bisa sepenuhnya mengabaikan perasaan itu.
Di sudut ruangan, Stella melihat Evan duduk sendirian. Matanya tertuju pada secangkir kopi yang sudah dingin di depannya, tetapi pikirannya jelas jauh dari situ. Ada bayangan di wajah Evan yang tidak pernah dia lihat sebelumnya—sebuah kesedihan atau mungkin ketidakpastian yang belum pernah terlihat sebelumnya.
Stella mendekat, duduk di kursi kosong di hadapan Evan tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Mereka tidak perlu bicara; suasana di antara mereka sudah cukup berbicara. Evan mendongak, menatap Stella sejenak sebelum kembali mengalihkan pandangannya ke secangkir kopi yang dingin itu.
"Apa yang kita lakukan sekarang?" Stella bertanya, akhirnya memecah keheningan.
Evan mendesah, suaranya lelah namun tetap penuh kewaspadaan.
"Kita menunggu. Dan kita tetap waspada. Buku itu mungkin terkunci, tapi ada sesuatu yang lain yang sedang bergerak di sekolah ini."
Stella mengangguk, meskipun hatinya dipenuhi oleh lebih banyak pertanyaan daripada jawaban.
"Apa kau juga merasakan... sesuatu yang berbeda?" tanyanya, ragu-ragu untuk mengucapkan pikirannya dengan lantang.
Evan tidak langsung menjawab. Dia hanya mengangguk pelan, mengakui bahwa perasaan yang sama juga menghantuinya.
"Sekolah ini... tidak lagi terasa seperti dulu," gumamnya.
"Aku tidak tahu apakah ini karena buku itu, atau karena kita telah membuka pintu yang seharusnya tetap tertutup."
Mereka berdua duduk dalam diam, saling memahami bahwa apa pun yang terjadi di Sekolah ini, mereka tidak bisa lagi mundur. Mereka telah terlalu jauh terlibat, dan rahasia yang mereka ungkapkan hanyalah permulaan.
---
Sementara itu, Aluna Nightshade, gadis misterius yang telah mengamati segala sesuatu dari bayang-bayang, sedang berada di ruang seninya. Di depan kanvas putih yang kosong, Aluna berdiri dengan tatapan kosong, cat hitam di tangannya.
Sudah beberapa hari sejak dia terakhir kali melukis, tetapi ada sesuatu yang mendesaknya sekarang, dorongan untuk mengekspresikan perasaan gelap yang selama ini dia pendam. Tangannya bergerak cepat, menciptakan garis-garis tegas di atas kanvas.
Saat kuasnya menyentuh kanvas, Aluna merasakan ada sesuatu yang keluar dari dirinya—sesuatu yang telah lama terkurung di dalam hatinya.
Lambat laun, sebuah bentuk mulai terbentuk di kanvas itu. Bayang-bayang gelap mulai muncul, menggambarkan sesuatu yang abstrak namun jelas menakutkan. Aluna tidak tahu pasti apa yang sedang dia lukis, tetapi tangannya seolah bergerak dengan sendirinya, dipandu oleh kekuatan yang tidak dia pahami.
Saat dia melangkah mundur untuk melihat hasil karyanya, Aluna terkejut dengan apa yang dia lihat. Di kanvas itu, tergambar sebuah wajah. Bukan wajah manusia, melainkan sesuatu yang lebih gelap—sesuatu yang menyerupai bayangan, dengan mata kosong yang seolah menatap langsung ke dalam jiwanya. Wajah itu terasa akrab, seolah-olah Aluna pernah melihatnya di suatu tempat, namun dia tidak bisa mengingat di mana atau kapan.
Ketakutan tiba-tiba melanda Aluna. Dia menjatuhkan kuasnya ke lantai, melangkah mundur dengan cepat. Wajah itu... tidak mungkin hanya hasil imajinasinya. Ada sesuatu yang aneh, sesuatu yang menyeramkan, dan dia tahu bahwa itu bukan sekadar lukisan biasa.
Aluna menghela napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya. Mungkin ini hanya efek dari stres, pikirnya. Semua yang terjadi dengan Evan, Stella, dan buku itu telah membuatnya terlalu banyak berpikir. Namun, di dalam hatinya, dia tahu bahwa ada lebih dari itu. Sesuatu sedang bergerak di balik bayang-bayang, dan Aluna mulai merasakannya.
---
| Reverie |
---xxx---Velora kembaliii~
Do U miss me?Apa yng klian pikirkan saat membaca bab ini?
Jngn lupa vote and comment yaaw~
Yang seru-seru pokoknya.Sampai jumpa di bab selanjutnya,
VeloraArven
KAMU SEDANG MEMBACA
Reverie
RomanceDi balik dinding megah Sekolah Menengah Kejayaan Lemuria, tersembunyi rahasia kelam yang lebih dalam dari sekadar prestasi akademis. Di sekolah ini, ambisi, kekuasaan, dan manipulasi saling bersilangan, dan hanya sedikit yang bisa merasakan ada sesu...