Chapter 1 : Positive!

725 104 9
                                    

"Dek, mas positif covid. Belum bisa balik ke Jakarta."

Itu bukanlah panggilan telepon yang ingin Alunan dengar dari Senar, masnya. Otaknya seolah kosong dan bibirnya keluh. Namun, dia tetap harus merespons masnya itu dengan doa dan kata-kata penyemangat bahwa virus kecil tak terlihat yang mematikan dan melumpuhkan bumi itu tidak akan membahayakan nyawanya.

Begitu panggilan berakhir, Alunan yang sedang menghabiskan waktu pagi untuk berjemur di balkon apartemennya ini memilih merenung. Tatapannya tertuju pada mesin cuci yang sedang berputar-putar. Pusaran pakaian dan air itu seolah membuat ingatannya mulai ditarik ulang, di mulai dari awal tahun ini, tepatnya delapan bulan ke belakang.

2020. Tahun dengan dua puluh angka berulang, dekade kedua dalam dua millenium tahun masehi. Kombinasi angka dua yang terkesan apik seolah pertanda keberuntungan sepanjang tahun. Nyatanya, kombinasi angka itu malah mendatangkan kesialan, sebuah bencana besar. Bukan badai yang tampak mata, tetapi sebuah entitas tidak kasat mata yang berhasil melumpuhkan banyak umat manusia bahkan mengambil nyawa mereka.

Awal tahun, semua orang meremehkan kedatangan virus ini. Sikap sombong yang nyatanya adalah hal sembrono karena menjadikan orang-orang tidak waspada akan bahaya tidak terlihat ini. Hingga akhirnya virus ini masuk ke dalam negeri. Semua orang panik. Semua orang mendadak harus di rumah saja demi bertahan hidup. Semua orang mulai memaksa diri untuk membentuk aktivitas baru yang aman dari virus bernama SARS-CoV-2 atau orang-orang menyebutnya covid-19.

Sejujurnya Alunan cukup menyukai kondisi ini pada awalnya. Dia seorang introvert. Baginya melelahkan jika terlalu banyak bersosialisasi dengan orang luar. Apalagi dia juga hobi bekerja yang kerjaannya pun berada di rumah saja.

Namun, semakin lama Alunan menjadi jengah. Dia mulai kehilangan kreativitas dan inspirasi sebagai seorang penulis novel online. Biasanya dia menghibur diri dengan berjalan-jalan sendirian di pusat perbelanjaan, tapi sekarang dipaksa berhenti karena dia harus di rumah saja. Kelima sahabatnya yang biasa dia ajak main di akhir pekan pun belum bisa ditemui. Harapannya yang tersisa hanyalah Senar, masnya yang tinggal di apartemen bersamanya.

Sayangnya, Senar sudah kembali ke Yogyakarta sebulan yang lalu. Orang tua mereka tertular virus covid-19. Sebagai anak pertama, Senar harus pulang dan memastikan keadaan orang tua mereka sampai benar-benar sembuh. Ternyata malah masnya ikut tertular virus covid saat akan kembali menemani Alunan.

Alunan menghela napas dalam. Senyum pedihnya terpasang. Sebelum kemudian, dia memaksa berdiri saat merasakan perutnya mulai keroncongan.

Baru saja berdiri, tiba-tiba tubuh Alunan goyah. Kepalanya mendadak pusing sekali. Hingga dia harus memegang apa saja demi menyanggah berat tubuhnya ini.

Dengan langkah lambat dan sempoyongan, Alunan mendekati kulkas. Seketika cewek itu memekik dengan kesal, "Ya Tuhan, tolonglah ...."

Alunan mengerang putus asa. Tidak ada yang tersisa di sana selain air putih. Kesibukannya menjadikannya lupa makan dari kemarin siang bahkan dia sendiri lupa untuk memeriksa stok bahan makanan.

Dengan segera Alunan mengambil ponselnya dari saku celana. Dia mengotak-atik aplikasi-aplikasi online untuk memesan makanan ataupun bahan makanan.

"Apa-apaan nih?" omel Alunan saat mendapati seluruh pesanannya dibatalkan karena peningkatan jumlah pelanggan.

Alunan sudah merasa hidupnya menyedihkan saat telepon Senar beberapa saat lalu. Sekarang dia semakin mengenaskan lagi karena kelaparan, pusing, dan terjebak tanpa kepastian kapan dirinya bisa makan.

Dengan suara lirih dan lemah, Alunan segera mengirimkan pesan suara kepada teman-teman di grupnya, "Guys, help! Ada yang tahu aplikasi pesanan online atau siapa pun yang bisa bantuin gue beliin makanan atau bahan makanan sekarang? Nih lama-lama gue mati bukan gara-gara covid, tapi kelaparan."

My Quarantine Boyfriend (Novelet)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang