Tiba-tiba saja Arka menjaga jarak. Tadinya cowok itu duduk di samping Alunan, sekarang dia sudah berpindah ke kursi meja makan. Tatapan bersalahnya terpasang. Tangannya terus menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal itu.
"Lun," panggil Arka. Suaranya pelan dan ditambah ringisan. "Sori ...."
Sejujurnya Alunan sendiri bingung. Haruskah dia memaafkan Arka, tapi cowok itu tidak salah. Virus itu tidak terlihat. Mati-matian dihindari juga tahu-tahu saja sudah terkontaminasi.
Apalagi kedatangan Arka yang membawa virus ini bukan hal yang disengaja. Cowok itu membantunya karena kebetulan dia baru saja ada urusan di luar, lalu sekalian saja berbelanja dan berakhir mampir di apartemen Alunan.
Tiba-tiba saja perut Alunan berbunyi keras. Perutnya mulai terasa perih. Bukannya merespons permintaan maaf Arka, dia malah mengulurkan tangan, lalu bertanya, "Mana nasi gorengnya? Gue mau makan."
Mata Arka melebar sesaat, sebelum kemudian dia buru-buru meraih kantong plastik berisikan sekotak nasi goreng. Cowok itu menaruhnya di sofa dekat Alunan, lalu buru-buru menjaga jarak lagi.
Cukup sadar diri juga ini anak, batin Alunan. Dalam hati dia malah ingin tertawa melihat Arka yang memperlakukan dirinya sendiri selayaknya virus yang mematikan dan tidak boleh dekat dengan siapa pun.
Selama beberapa menit panjang, Alunan memilih fokus untuk menghabiskan makanannya. Arka harusnya diam saja di tempat, tapi dia malah kembali mendekat dengan secangkir teh hangat. Kemudian, cowok itu kembali duduk di tempatnya semula dalam diam sambil terus memperhatikan Alunan lekat-lekat.
Sejujurnya, Alunan sedikit canggung diperhatikan oleh Arka. Walau mereka sering makan bersama sebagai sahabat, tapi tidak dengan versi cowok ini diam menatapnya.
"Emang ada yang menarik ya lihatin gue makan, Ka?" tanya Alunan. Dia nyengir karena jengah.
Arka lagi-lagi meringis, lalu membuang muka. Tidak ada respons apa pun. Bahkan keduanya pun kembali membiarkan seantero apartemen hanya berisikan suara Alunan yang sedang makan.
"Oke, udah kelar." Alunan kembali berbicara seraya menaruh kotak makannya yang kosong tak bersisa. Dia merebahkan diri di kepala sofa. Tangannya mengusap-usap perutnya yang agak membuncit karena kebanyakan karbohidrat. Sementara matanya bergantian untuk menatap lekat-lekat cowok tampan yang kebetulan sahabatnya ini.
"Lun, kita perlu bicara serius masalah ... kita," ucap Arka pada akhirnya. Ekspresi serius cowok itu terpasang.
Alunan mengangguk kaku.
"Kayaknya gue harus tinggal di sini."
Ucapan Arka itu sukses membuat Alunan memelotot. Bahkan badannya mendadak tegak. Mulutnya sudah siap mengomel, menyangga argumen itu, tetapi dia seolah urung melakukannya apalagi saat melihat sahabatnya itu kembali berbicara dengan bersungguh-sungguh.
"Gue tahu ini terkesan ... nggak bener, tapi kita berdua nggak punya pilihan lain, Lun." Arka mendesah napas panjang. "Pertama, di sini yang sakit itu gue, sementara gue harus pulang dan ketemu banyak orang di luaran sana. Kedua, gue juga pulang naik ojek online, sejujurnya gue agak nggak tega bawa-bawa virus ini ke pekerja lapangan kayak mereka. Terakhir, lo ... udah terpapar virus dari gue, otomatis cepat atau lambat lo juga bakal kena nggak sih? Setidaknya kalau lo kenapa-kenapa gara-gara gue, gue bisa langsung bertanggung jawab."
Seketika Alunan berdecak pelan. Argumen Arka benar-benar tidak bisa dibantah. Mereka juga bukan orang jahat yang sudah tahu sakit, tapi malah berkeliaran bebas. Alasan terakhir juga cukup dibutuhkan, hidup sendirian di tengah pandemi itu bukan pilihan baik. Mereka dipaksa terisolir dari dunia luar. Kalau tidak ada yang menemani, bisa-bisa saja mereka mati dan baru ditemukan berhari-hari setelahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Quarantine Boyfriend (Novelet)
RomanceGimana jadinya lo dan sahabat lo tiba-tiba harus karantina berdua aja? Di tengah-tengah mewabahnya virus covid-19, tiba-tiba saja Arka datang ke apartemen Alunan. Bukan hanya membawakan bahan makanan yang cewek itu butuhkan, tetapi juga virus. Mau...