Win The Election

497 51 0
                                    

feb'2024

Setelah menerima ucapan selamat tanpa henti di kediaman orang tuanya lalu dilanjutkan dengan melakukan pidato kemenangan di Istora Senayan. Rakai benar-benar merasa lelah, lelah karena ternyata kemenangan terasa begitu berat.
Awalnya dia berpikir bahwa kemenangan akan terasa menyenangkan setelah berjuang lebih dari 2 kali. Nyatanya, dia malah merasa terbebani, jauh lebih terbebani melihat wajah para pendukungnya, jutaan manusia yang 5 tahun ke depan nasibnya harus dia perjuangkan.

Rakai pun memutuskan pulang ke kediaman pribadinya di puncak bukit Hambalang.
Begitu mobil terparkir di halaman, Rakai kaget melihat sesosok wanita yang keluar dari rumah menyambutnya dengan senyum merekah.
"Wah pantes saya cari tadi langsung tidak ada, pulang duluan kok tidak bilang?." Rakai  bertanya sembari langsung menghampiri wanita tersebut yang disambut dengan tangan terbuka, siap untuk pelukan hangat.
Masih dalam pelukan Rakai, wanita itu menjawab "Maaf, saya buru-buru, ada yang ngambek tidak kamu ucapkan terimakasih di pidato kemenangan tadi."
"Hah?." Rakai langsung melepaskan pelukan dan menatap wanita tadi, yang tidak lain adalah Dhani dengan tatapan serius.
"Becanda, adik sudah tidur dari tadi. Saya kesini karena rindu."
"Rindu? tadi kan baru ketemu kita Dhan." Gantian kini Rakai yang menggoda ibu dari anak-anaknya.

Saat mereka berjalan menuju ruang tamu, Ditto anak lelaki mereka menghampiri dengan senyum sumringah seperti biasa lalu menyalami ayahnya.
"Tidur sini kan Dit?" Rakai mengelus pundak putra kebanggaanya.
"Gak tau, terserah ibu saja. Kalau ibu pulang Jakarta ya Ditto temani."
Dhani yang menjadi kunci keputusan malah melengos meninggalkan bapak dan anak yang terus meneruskan obrolan berdua. Dhani memilih untuk masuk ke kamar yang terletak di ujung pavilion utama kediaman pribadi Rakai.

Setelah berbincang cukup lama, Rakai dan Ditto menyusul Dhani ke kamar tersebut.
"Hari ini tangan kanannya yang lecet. Kalau kemarin kaki kiri." Dhani membuka percakapan begitu sadar Ditto dan Rakai sudah masuk ke dalam kamar.
"Ibu ini, setiap adik tidur selalu diperhatikan ujung kepala sampai kaki, Ditto mana pernah."
Rakai spontan menepuk putranya "Hus, kamu sama adik beda. Kalau kamu ibu bapak gak nunggu sampai sebulan, adik 20 tahun lebih."
Ditto yang mendengar ucapan sontak tertawa.
"Sekarang bagaimana mas?" Dhani tidak ikut hanyut dalam candaan Ditto dan Rakai, dia malah tampak seperti akan menangis.
"Gimana apanya Dhan?"
"Nasib adik. Kita selama bertahun-tahun selalu memikirkan supaya mas bisa jadi presiden, tapi kita lupa memikirkan bagaimana adik setelahnya. Saya tidak mau adik jadi konsumsi publik. Saya tidak mau adik kehilangan hak dia untuk bebas jadi dirinya sendiri."
Ditto menghampiri ibunya "Ibu tenang saja, adik aman. Sejauh ibu dan bapak bisa menjaga jarak terus seperti ini, Ditto rasa adik aman. Orang-orang jauh lebih tertarik dengan kepastian status hubungan ibu dan bapak, tidak akan sempat melihat apalagi mengira ibu dan bapak juga punya adik selain Ditto, dia tidak dalam spotlight."
"Ditto benar Dhan. Selama kita terus begini, orang tidak akan melihat adik, yang dilihat hanya kamu, saya, dan Ditto. Orang akan terus mempertanyakan status kita tanpa peduli apa yang sesungguhnya mengikat kita. Sudah, tidak usah khawatir begitu. Tidak akan ada kesakitan masa lalu kita yang menyentuh adik, saya janjikan itu sama kamu dan akan saya tepati seumur hidup saya."
Rakai menghampiri Ditto dan Dhani yang sedari tadi duduk di pinggir tempat tidur, lalu memeluk erat mereka berdua penuh arti.

Behind All The NoiseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang