The Happy Family

391 41 2
                                    

feb'2024

Bughhh... Rakai yang tengah tertidur lelap dikagetkan dengan guncangan keras di tempat tidur.

"Adik." Dhani yang juga berada di kamar untuk membereskan lemari pakaian Rakai, menegur pelan. Sudah terbiasa dengan ritual pagi hari seperti ini sejak 9 tahun yang lalu.

Adik yang berusia 5 tahun dulu sempat protes dengan kedua orang tuanya karena tidak diperbolehkan lagi untuk tidur bersama, saat itu adik mulai dibiasakan untuk tidur sendiri di kamarnya. Sebagai bentuk protes dari aturan tersebut, adik yang berusia 5 tahun, memulai ritualnya sendiri, setiap pagi buta saat bangun tidur dia akan langsung pergi ke kamar orang tuanya dan melemparkan diri ke atas tempat tidur dimana orang tuanya telah terlelap. Tidak peduli di Cendana, atau Hambalang, adik adalah alarm pagi kedua orang tuanya.

Setelah mendarat dengan keras diatas tempat tidur, adik akan memeluk salah satu orang tuanya. Pagi ini dia tentu memeluk Rakai yang memang baru bangun. Sadar adik di dekatnya, Rakai langsung memeluk putri satu-satunya tersebut sambil mencium rambut hitam lebatnya.

"Good morning Schatje.." Schatje adalah panggilan kesayangan Rakai untuk putrinya. Panggilan yang dia tidak mengizinkan seorang pun untuk memakainya, tidak Dhani tidak juga Ditto. Schatje sendiri berasal dari bahasa Belanda yang memiliki arti "sayang". Sebenarnya panggilan ini adalah panggilan yang digunakan alm ayah Rakai untuk almh ibunya, yang kemudian dia lanjutkan sebagai tradisi.

"Morning Mr. President! How's your feel to finally win?"

"It's feel good but heavy at the same time. Rasanya sama saja dengan yang adik rasakan kalau menang pertandingan."

"I know, the pressure right? when you finally win that time and people put a high expectation in the next step..duh." Adik memberikan komentar sambil memutar mata.

"Maaf ya kalau semalam bapak tidak mengucapkan terimakasih untuk adik. But deep down, you have to know how i feel thakful to you."

"Nah, that's fine. I don't want feel awkward like mas Ditto by the way.."

"How you feel, ibu?" Adik bertanya pada ibunya yang masih sibuk membereskan lemari.

"Allhamdulillah, kita harus bersyukur bapak akhirnya diberi kepercayaan untuk memimpin bangsa ini."

"Yaaa, tapi bapak must be more busy."

"Kalau bapak sibuk, adik kan masih punya ibu. Walau adik lebih banyak tinggal sama bapak tapi yang lebih banyak sama adik kan ibu. Ibu yang ikat rambut adik, ibu yang siapin makan siang, ibu yang anter sekolah, kalau nanti bapak gak bisa jemput, ibu yang jemput juga. Tapi walau bapak sibuk, bukan berarti bapak tidak cinta. Adik harus bersyukur, sesibuknya bapak sekarang, bapak masih bisa ikut andil dalam urusan-urusan adik. Zaman mas Ditto dulu mana bisa. Bapak bahkan gak pernah ambil cuti untuk liburan keluarga, gak pernah ambil raport ke sekolah. Sama adik beda kan? bapak selalu ajak adik liburan, bapak selalu nonton pertandingan adik."

"I know, i feel sorry for mas Ditto."

"You are our second chance, adik. Semua peran ibu dan bapak as a parent and partner. We fix all of that for you, for make a better home to you. A better home that we can't give to Ditto earlier." Rakai menggenggam tangan putrinya dan menciuminya.

"Thankyou ibu and bapak, for making me the happiest girl in the whooolleeee world."

***

Siang harinya Dhani, Ditto, Rakai kembali ke Jakarta. Ditto dan Rakai memakai mobil yang sama sedangkan Dhani menaiki mobil yang berbeda. Sebelum kembali ke rumahnya di Cendana, Dhani akan mengantar adik ke sekolahnya terlebih dahulu.

"Kenapa sih, kita harus beda mobil? mas Ditto gak capek apa tuker-tukeran kursi sama adik? adik sih cape sebentar di mobil ibu sebentar di mobil bapak."

Ditto mengelus kepala adiknya sambil tertawa "Yang sabar ya, adik belum 14 tahun menjalani kehidupan ini, lagian gak ada apa-apanya ini dibanding mas Ditto yang sampe setua ini musti bolak balik rumah ibu bapak."

"I'm so sorry for you mas Ditto, emang ini bedua, balikan aja apa susahnya sih." Adik melirik tajam ibu dan ayahnya disertai senyum meledek.

Yang dilirik hanya tersenyum canggung menderang sindiran kedua anaknya.

"Mas duluan ya Dhan, hati-hati. Sudah sampai rumah, kabari." Rakai menyalami pipi kanan kiri Dhani lalu mencium kepala adik sebelum kemudian memeluknya erat. "Adik jangan nakal ya, jangan bikin repot ibu. Nanti pulang sekolah bapak jemput."

Setelah Rakai dan rombongannya meninggalkan Hambalang, giliran mobil Dhani yang meninggalkan Hambalang. Belum ada setengah jalan, handphone Dhani sudah berdering dan menunjukan nama Teddy di layar, yang tidak lain adalah ajudan Rakai.

"Kenapa Ted?"

"Mohon izin ibu, bapak mau video call. Sudah rindu dengan adik katanya."

"Kenapa dia tidak call sendiri?"

"Malu, sepertinya yang dikangenin bapak bukan cuma adik." Teddy tersenyum nakal diujung telpon melihat sikap serba salah atasannya.

"Suruh call sendiri Ted, baru saya angkat."

Setelah menutup panggilan Teddy, Dhani tersenyum malu. Mencoba memikirkan sejak kapan ayah dari anak-anaknya mulai bersikap seperti ini. Dulu, saat mereka masih muda, Rakai memang sudah romantis tetapi tidak pernah seterbuka dan se all out ini dalam menunjukan kasih sayangnya. Rakai muda akan cenderung bersikap cuek, bahkan menyentuh dia di depan umum pun Rakai akan malu. Tapi sekarang, dia seolah tidak ragu menunjukan cinta dan kasih sayangnya didepan semua orang.

Tidak berapa lama, handphone Dhani berdering kembali, dan kini nama yang muncul di layar adalah nama Rakai.
"Kenapa mas? kangen saya?" Karena panggilan yang dilakukan adalah video call, Dhani merasa lebih leluasa menggoda ayah anak-anaknya.

"Saya rindu kalian berdua. Sama rata. Adik mana? kok gak ada suaranya."

"Tidur lagi." Dhani memutar arah kameranya dan memperlihatkan adik yang sedang tidur di kursi sebelahnya.

"Cantik sekali ya anak kita. Terimakasih ya Dhan, sudah mau melalui semua bersama saya lagi. Terimakasih sudah memberi saya kesempatan kedua sehingga kita bisa punya adik. I owe you everything!. Mau mendampingi saya jadi ibu negara tidak?"

Behind All The NoiseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang