Apart

254 48 7
                                    

1998

Setelah mendapat penghinaan dari Manik, Rakai tetap berdiri di tempatnya. Dia tidak bergeming seikitpun. Dia mendengar tangisan Dhani dari dalam rumah, dia butuh penjelasan. Bukan penjelasan atas segala tuduhan dan penghinaan yang dia dapatkan, akan tetapi penjelasan mengapa istrinya menangis.

Cukup lama Rakai tinggal, sampai seorang asisten rumah tangga yang dia kenal datang menyampaikan pesan padanya.

"Pak, maaf, ibu Dhani minta bapak menunggu di rumah saja."

Rakai yang paham maksud istrinya segera pulang ke rumah.

Sesampainya di rumah, Rakai bertemu dengan Ditto yang tengah bermain video game di tengah rumah.

"Hei.." Rakai kemudian duduk di sebelah Ditto dan mengusap kepala putranya.

"Sedang main apa kamu? serius sekali!"

"Crash Bandicoot. Bapak mau ikut main? Sudah lama kita tidak main bersama!."

"Boleh, sembari menunggu ibu."

Ditto pun mengoper salah satu controller pada ayahnya.

"Sekolah kamu bagaimana?"

"Biasa saja, oh iya, teman Ditto ada yang baru punya adik. Perempuan, cantiiiik sekali. Ditto jadi tidak sabar bertemu adik sendiri."

Rakai mengalihkan pandangan kepada putranya. "Jangan cerita hal semacam ini pada ibu ya. Ditto paham kan maksud bapak?"

Ditto mengangguk tersenyum. "Paham."

Tidak berapa lama, Dhani pulang. Tanpa menyapa suami dan putranya, dia langsung menuju kamar.

"Ditto sudah dulu main game nya. Masuk kamar. Bapak ibu mau membicarakan sesuatu yang tidak boleh kamu dengar." Ditto pun mengangguk paham dan membereskan video game nya sebelum berlalu masuk kamar.

Di dalam kamarnya sendiri, Rakai melihat Dhani tengah terduduk lesu di ujung tempat tidur.

"Mereka bilang kamu bergabung dengan kubu reformis, Mas. Mereka meyakinkan bapak bahwa kamu mengkhianati beliau."

Rakai paham betul siapa "mereka" yang disebut oleh Dhani.

"Kamu bagaimana? kamu percaya tidak pada saya?"

"Kalau saya tidak percaya padamu, saya tidak akan pulang."

Rakai berlutut di depan istrinya. "Demi tuhan tidak ada niatan saya untuk mengkhianati bapak. Dia kakek anak saya. Dia ayah dari perempuan yang paling saya cintai di muka bumi ini. Walau pada akhirnya dia membenci saya, seumur hidup, benang merah saya dengan beliau tidak akan pernah terlepas."

Dhani menyandarkan dahinya pada dahi Rakai. "Bagaimana kalau kita lari saja? kita lari dari semua kekacauan ini. Saya, kamu, Ditto, lalu kemudian.. adik"

"Kalau saya lari, mereka akan menganggap saya sebagai pengecut yang memang bersalah. Kamu juga tidak bisa menginggalkan bapak."

"Bapak punya 5 anak yang lain. Untuk sekali ini, saya ingin sekali egois dengan memikirkan hanya kebahagiaan kita."

"Dhan..."

"Sekali ini saja, kamu harus bilang iya, Mas. Saya tidak akan meminta kedua kalinya, jadi katakan iya sekarang. Lari bersama saya, lari dari kehidupan ini. Mari kita membangun ulang semua, hanya kita, tanpa keluarga saya, tanpa keluarga kamu. Tolong mas, sebelum semua terlambat."

Rakai mengelus pipi istrinya. "Lari bukanlah solusi. Kamu tidak kasihan pada bapak?."

Tiba-tiba telpon Dhani berdering. Dia berbicara sekitar 5 menit dengan orang di seberang telpon.

Behind All The NoiseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang