11 - Unspoken Tension

243 26 0
                                    


Jeno membukakan pintu mobil untuk Jaemin setelah mereka sampai di kantor Jeno.

Setelah kejadian Jaemin pingsan beberapa hari lalu, Jeno memberi perhatian lebih untuk memerhatikan kegiatan Jaemin. Hari ini Jeno harus menemui klien dari Canada sehingga ia tidak bisa tetap di rumah namun ia tidak bisa dengan tenang meninggalkan Jaemin sendirian di rumah.

Alhasil Jeno menawarkan Jaemin untuk ikut ke kantornya yang awalnya ditolak oleh Jaemin, hal inilah yang membuat perdebatan diantara mereka. Namun akhirnya Jaemin mengalah dan ikut Jeno ke kantornya. Jaemin menghela nafas begitu keluar dari mobilnya, ia masih enggan untuk datang ke kantor Jeno begitu ia mengingat apa yang ia lihat sebelumnya.

Jeno menekan tombol lift menuju ruangannya. Ia menjalin tangannya dengan Jaemin, memastikan jika pasangan yang sedang tidak ber-moodi baik tidak ketinggalan.

"Aku akan meeting sekitar satu jam nanti. Kau bisa istirahat di ruanganku. Jika kau butuh sesuatu, minta saja pada sekretarisku. Setelah meeting aku juga masih perlu mengecek beberapa dokumen yang perlu disahkan. Jadi mungkin kau akan sedikit lama disini. Tapi aku pastikan akan menyelesaikan semuanya secepat mungkin." Jelas Jeno memastikan Jaemin dapat bersabar menunggunya nanti. Ia takut mood Jaemin semakin buruk setelah ia membayangkan Jaemin menunggunya sendirian di ruangannya.

"Hm." Balas Jaemin singkat.

Jeno menuntun Jaemin kedalam ruangannya. Ia tidak peduli dengan tatapan karyawannya yang menatapnya dengan mata memuja melihat bagaimana Jeno memperlakukan Jaemin.

Jaemin mengangkat dagunya bangga dengan perlakuan suaminya di depan publik seperti ini. Namun lagi-lagi mood-nya kembali memburuk begitu melihat sekretaris Jeno yang sebelumnya ia lihat menyentuh pasangannya.

Sebelum ia meeting, Jeno memastikan Jaemin nyaman di ruangannya. Ia meletakkan bantal sofa di sekitar Jaemin, tak lupa Jeno mengeluarkan selimut dari lemari kecil di sudut ruangannya, lalu meletakkannya di samping Jaemin yang sudah duduk di sofa.

"Aku mau kau nyaman. Kalau dingin, pakai saja ini." Ia membelai kepala Jaemin dengan lembut, seolah menginginkan kepastian bahwa pasangannya benar-benar baik-baik saja.

Jaemin hanya menatapnya, rasa cemburu yang mulai timbul lagi ketika pikirannya melayang ke kejadian dengan sekretaris Jeno beberapa waktu lalu. Tapi kali ini, ia memilih untuk diam. Tidak ingin memperkeruh suasana. Meski begitu, perasaan tidak nyaman itu terus ada di hatinya. Tatapannya pun sedikit mengeras setiap kali mengingatnya.

Jeno yang sensitif terhadap perubahan ekspresi Jaemin menghela napas panjang. "Kau masih memikirkan soal itu?" tanyanya pelan, duduk di samping Jaemin. "Aku sudah bilang berkali-kali, tidak ada apa-apa antara aku dan dia. Kau adalah satu-satunya, Jaem. Tolong, percayalah padaku."

Jaemin menatap lurus ke depan, tidak langsung menjawab. Tangannya mencengkeram bantal di pangkuannya, seolah berusaha menahan perasaannya. "Bukan masalah percaya atau tidak, Jeno. Aku hanya... butuh waktu."

Jeno mengangguk, memahami. "Aku akan menunggu," ujarnya lembut, lalu mengecup puncak kepala Jaemin. "Aku tidak akan memaksa. Kau bisa tetap di sini sampai kau merasa lebih baik."

Ketika Jeno berdiri untuk pergi ke meetingnya, Jaemin memanggilnya dengan suara pelan, "Jeno."

Jeno berhenti di depan pintu, menoleh dengan senyum tipis di wajahnya. "Ya?"

"Aku... aku ingin kita makan malam bersama setelah ini," ucap Jaemin, suaranya agak ragu tapi ada ketegasan di baliknya. "Hanya kita berdua."

Jeno tersenyum lebih lebar kali ini. "Tentu. Kita akan makan malam di tempat favoritmu. Apapun yang kau mau."

Setelah Jeno pergi, Jaemin mendesah pelan, menatap tablet di pangkuannya. Ia mencoba mengalihkan pikirannya dari kecemasan yang masih mengganggu, tapi ia tahu bahwa selama ia belum bisa menyelesaikan perasaannya terhadap kejadian itu, bayang-bayang kecurigaan akan terus menghantuinya. Namun, ia sadar satu hal—ia mencintai Jeno lebih dari apapun, dan mungkin waktu serta perhatian Jeno akan mampu menghapus kekhawatirannya.

Setelah beberapa saat, Jaemin memutuskan untuk membuka tablet dan mencoba mengalihkan pikirannya. Dia membuka sebuah aplikasi video untuk menonton sesuatu yang ringan, berharap bisa membuat suasana hatinya sedikit lebih baik. Namun, ia tetap gelisah. Pikirannya terus-menerus kembali pada Jeno dan wanita itu—setiap gestur kecil yang Jaemin perhatikan saat mereka bersama.

Jaemin kemudian terduduk lebih tegak, memandang pintu ruang kerja Jeno. Ada keinginan kecil dalam dirinya untuk keluar dan melihat apa yang sedang terjadi di luar. Tapi ia menahan diri. "Aku tidak boleh berlebihan," pikirnya. Ia tahu Jeno sedang bekerja keras untuk menyelesaikan urusan dengan klien, dan yang paling penting adalah kepercayaan. Tapi hati kecilnya tetap tidak bisa sepenuhnya tenang.

Tak lama kemudian, pintu terbuka pelan dan sekretaris Jeno muncul, membawa nampan dengan secangkir teh. "Maaf mengganggu, Tuan Jaemin. Saya membawakan teh, mungkin ini bisa membantu Anda merasa lebih nyaman." Sekretaris itu tersenyum tipis, suaranya lembut namun cukup untuk membuat Jaemin kembali merasakan perasaan tidak nyaman.

Jaemin menerima teh tersebut dengan anggukan kecil tanpa berkata apa-apa. Wanita itu pun pergi, menutup pintu dengan hati-hati, meninggalkan Jaemin sendirian lagi. Dia menatap cangkir teh itu dengan perasaan bercampur aduk—tekanan yang terus bertambah di dalam dadanya. Jaemin merasa semakin sulit untuk menahan rasa cemburu yang semakin mendalam.

"Haruskah aku bicara lagi dengan Jeno tentang ini? Atau... aku terlalu berlebihan?" gumamnya pada diri sendiri, mencoba menemukan jawaban dari konflik internal yang mengganggunya.

Setelah beberapa lama, rasa lelah mulai menguasai tubuhnya, dan Jaemin memutuskan untuk berbaring di sofa. Dia menarik selimut yang disediakan Jeno dan menutup matanya, berharap bisa mendapatkan sedikit ketenangan.

Sementara itu, di ruangan lain, Jeno tengah mempresentasikan rencana kerja sama dengan kliennya. Meskipun pikirannya sepenuhnya terfokus pada pekerjaan, sesekali pikirannya melayang kepada Jaemin yang menunggunya di ruangannya. Ia tahu ada sesuatu yang masih mengganjal di hati pasangannya, tapi ia berharap bahwa dengan cukup waktu dan perhatian, Jaemin akan kembali merasa tenang.

Ketika meeting selesai, Jeno segera berjalan kembali ke ruangannya. Di dalam, ia melihat Jaemin tertidur di sofa, tampak lelah. Jeno mendekat, duduk di sampingnya dengan senyum lembut di wajahnya. Dengan hati-hati, dia merapikan rambut Jaemin yang sedikit berantakan.

"Maaf, aku membuatmu cemas lagi..." bisik Jeno pada dirinya sendiri, meskipun Jaemin tidak bisa mendengarnya. Ia memutuskan untuk membiarkan Jaemin beristirahat lebih lama, berharap bisa memperbaiki situasi dengan makan malam nanti, seperti yang sudah mereka rencanakan.

Saat malam tiba, Jeno membangunkan Jaemin dengan lembut. "Sayang, waktunya makan malam. Kau masih ingin pergi?"

Jaemin membuka matanya perlahan, menatap Jeno dengan sedikit senyum di bibirnya. "Ya, aku masih ingin," jawabnya dengan suara lembut.

Jeno menggenggam tangan Jaemin dan membantu pasangan itu berdiri. "Baiklah, ayo kita pergi," ujarnya sambil menatap Jaemin penuh kasih, berharap malam ini bisa memperbaiki jarak yang sedikit terasa di antara mereka.


To be Continued..

Jangan Lupa Comment dan Like nya ya.. 

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 4 days ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Can You Handle Me S2 | Nomin ~Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang