Bab 37

3 0 0
                                    

Pravina mengangguk, merasa kagum. "Aku nggak kebayang betapa sulitnya itu semua. Kamu harus percaya diri, punya energi yang selalu positif di depan orang-orang."

"Iya, betul banget," Riva mengangguk, "Tapi aku juga beruntung punya orang-orang yang mendukung, kayak Emma dan teman-teman di Jogja. Mereka yang bikin aku tetap kuat."

Pravina tersenyum dan mulai merasa benar-benar terhubung dengan Riva. Obrolan mereka mengalir dengan mudah, bahkan terkadang melibatkan cerita-cerita konyol tentang masa lalu Emma. Pravina merasa senang memiliki teman baru yang begitu ramah dan hangat seperti Riva. Di tengah perbincangan itu, Emma menyadari bagaimana kehadiran Riva benar-benar membawa semangat baru bagi Pravina yang sebelumnya masih terlihat sedikit lesu.

Selama beberapa jam, mereka tertawa, berbagi cerita, dan sejenak melupakan beban masing-masing. Pravina, yang awalnya datang hanya untuk menemani Emma, kini tampak asyik berbincang dengan Riva tentang berbagai hal, dari musik, kehidupan, hingga impian-impian masa depan.

Ketika malam mulai larut, Emma menyadari betapa berartinya malam ini. Malam di mana sahabat lamanya, Riva, bisa menjadi sosok yang mendukung dan membawa senyum di wajah Pravina yang telah lama suram. Sementara Aldo, meski harus menghadapi perasaannya yang tersisa, tampak puas melihat Riva telah menemukan kebahagiaan dengan orang lain.

----

Keesokan paginya, Emma kembali menghadapi realitas dunia kerjanya. Setelah akhir pekan yang menyenangkan dengan teman-temannya, kini ia dihadapkan dengan meja kerja yang penuh dengan berkas dan dokumen. Kantornya, sebuah perusahaan konsultan besar di pusat Jogja, sedang memasuki masa puncak proyek tahunan. Setiap sudut ruangan terasa dipenuhi hiruk-pikuk, dengan suara telepon berdering, keyboard yang ditekan tanpa henti, dan rekan-rekan kerja yang sibuk berdiskusi.

Emma melangkah ke ruang rapat dengan segelas kopi di tangan. Kali ini, suasananya sedikit berbeda. Tim manajerial tampak lebih tegang dari biasanya. Ketika semua sudah duduk, atasannya, Pak Arman, memulai pembicaraan.

"Baik, tim," katanya sambil mengetuk meja untuk menarik perhatian. "Kita punya waktu dua minggu untuk menyelesaikan laporan akhir proyek ini. Klien kita, PT. Hwa S.ci, berharap hasil yang sempurna, jadi saya butuh semua orang bekerja dua kali lebih keras."

Emma mencatat cepat di buku notanya. Nama PT. Hwa S.ci sudah tak asing lagi, karena mereka adalah salah satu klien paling menuntut. Mereka selalu meminta detail dan perubahan di menit-menit terakhir. Tantangan ini membuat Emma sering merasa tertekan, tapi juga menantang profesionalismenya.

"Emma," lanjut Pak Arman, memandangnya serius. "Kamu pegang bagian kontrol dokumen dan QA untuk proyek ini. Saya butuh kamu memastikan semua data sesuai dengan standar dan tidak ada yang terlewat."

Emma mengangguk tegas. Tugas ini tidak ringan, tapi ia siap untuk memikul tanggung jawabnya.

Kembali ke mejanya, Emma dihadapkan dengan file elektronik dan dokumen fisik yang menumpuk. Ia segera memulai dengan meninjau laporan progres yang sudah masuk. Setiap laporan harus disinkronkan dengan database pusat dan dipastikan tidak ada kesalahan data.

Emma mengadakan rapat kecil dengan timnya. Mereka membahas kendala yang muncul dalam beberapa laporan. Salah satu anggota tim, Rina, mengeluhkan adanya data yang tidak konsisten.

"Emma, kita punya beberapa laporan yang angka-angkanya nggak sinkron antara versi fisik dan digital. Ini masalah besar kalau sampai klien lihat," kata Rina, wajahnya terlihat khawatir.

Emma menenangkan Rina dengan anggukan. "Oke, kita pecah tugasnya. Aku dan kamu akan fokus cek ulang laporan digital, sementara Arya dan Tiara pastikan dokumen fisik tidak ada yang salah. Kita selesaikan ini sebelum jam makan siang."

Rapat selesai, dan tim segera bergerak sesuai arahan Emma. Ia merasa terbantu memiliki tim yang bisa diandalkan, meskipun tekanan kerja semakin berat.

Waktu makan siang tiba, tapi Emma memilih tetap di mejanya. Sebungkus nasi kotak dan sebotol air mineral menjadi teman makan siangnya. Sambil mengunyah, ia memeriksa email yang baru masuk.

Salah satu email datang dari PT. Hwa S.ci, dengan subjek yang menegangkan: Urgent: Data Revision Required.

Emma segera membuka email tersebut. Klien meminta perubahan pada salah satu bagian laporan yang telah diajukan sebelumnya, dengan catatan tambahan yang cukup panjang. Mata Emma menyusuri baris demi baris instruksi yang diberikan, mencoba mencerna apa yang sebenarnya diinginkan oleh klien.

"Kenapa selalu last minute?" gumam Emma frustrasi. Ia segera memanggil timnya kembali untuk diskusi dadakan.

Tim kembali berkumpul. Arya, salah satu anggota tim, menunjukkan wajah lesu.

"Ini data tambahan yang klien minta. Kita harus mengubah banyak hal, dan beberapa di antaranya butuh validasi ulang ke lapangan," katanya sambil menyerahkan print out revisi.

Emma memutar otaknya cepat. Waktu semakin mepet, dan beban kerja semakin berat. "Oke," kata Emma akhirnya, mencoba tegas. "Kita harus bagi tugas lebih spesifik lagi. Arya dan Tiara, kalian kontak tim lapangan untuk validasi data terbaru. Rina, kita kerjakan revisi laporan digital secepatnya."

Tim mulai bekerja dengan semangat baru, meskipun tekanan di udara terasa makin berat.

Setelah seharian bekerja, Emma akhirnya dipanggil oleh Pak Arman untuk memberikan laporan perkembangan.

"Bagaimana progres hari ini, Emma?" tanya Pak Arman sambil melirik jam tangannya.

Emma menyerahkan laporan harian yang sudah dia susun. "Kami sudah mulai mengerjakan revisi dari PT. Hwa S.ci. Validasi data masih berjalan, tapi sebagian besar revisi bisa selesai besok sore."

Pak Arman membaca laporan itu dengan teliti, lalu mengangguk. "Bagus. Pastikan revisi ini sesuai ekspektasi mereka. Kamu tahu, Emma, klien ini bisa jadi batu loncatan besar untuk karier kita semua."

Emma mengangguk, merasa tanggung jawabnya semakin besar.

Saat jam menunjukkan pukul tujuh malam, Emma akhirnya mengakhiri harinya. Ia mengemasi barang-barangnya dan meninggalkan kantor. Langit Jogja sudah gelap, dan jalanan penuh dengan kendaraan yang melaju perlahan.

Dalam perjalanan pulang, Emma merenungkan betapa sibuknya harinya. Namun, ia juga merasa bangga dengan apa yang telah dicapainya. Dunia kerja memang penuh tekanan, tetapi ia tahu bahwa ini adalah bagian dari proses untuk tumbuh dan berkembang.

Pikirannya kembali pada Pravina, Riva, dan Aldo. Mereka semua memiliki perjalanan hidup masing-masing, dengan tantangan dan kebahagiaan yang unik. Emma sadar bahwa meskipun hidup terkadang terasa berat, dukungan dari orang-orang terdekat adalah yang membuat segalanya lebih bermakna.

Sampai di rumah, Emma merebahkan diri di sofa. Ia menatap langit-langit dan menarik napas panjang. Satu hari lagi telah terlewati, dan besok adalah awal dari tantangan baru.

Malam itu, setelah seharian penuh berurusan dengan dokumen dan rapat, Emma akhirnya tiba di rumah dengan tubuh yang lelah. Ia meletakkan tas di sofa dan menghela napas panjang. Namun, rasa lelahnya sedikit terobati ketika mendengar suara ibunya dari ruang makan.

"Emma, sudah pulang?" suara ibunya terdengar ceria.

Emma tersenyum lebar. Sejak ibunya mulai pulih dari penyakit yang cukup serius beberapa bulan lalu, setiap percakapan mereka menjadi momen yang berharga. Ia berjalan menuju ruang makan, menemukan ibunya sedang duduk dengan secangkir teh hangat di tangan.

"Sudah, Bu. Maaf pulangnya telat. Banyak kerjaan di kantor," jawab Emma sambil duduk di kursi di sebelah ibunya.

Ibunya tersenyum lembut. "Tidak apa-apa, Nak. Ibu tahu kamu bekerja keras. Tapi jangan sampai lupa istirahat, ya."

Balancing Acts in the Office "The Realities Behind It"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang