Memastikan ibunya mendapatkan perawatan yang layak. Di sisi lain, tuntutan pekerjaannya tidak pernah berhenti. Semua ini membuat Emma merasa seperti dia sedang berjalan di atas tali tipis, di mana satu kesalahan kecil bisa membuat semuanya runtuh.
Setiap pagi, dia bangun dengan perasaan cemas, khawatir akan apa yang harus dia hadapi hari ini, baik di rumah maupun di kantor. Meskipun Santi sangat membantu di rumah, Emma tetap merasa bahwa dia harus selalu ada untuk ibunya. Sementara di kantor, Pak Budi terus menekan untuk menyelesaikan proyek besar yang tampaknya tidak pernah berakhir.
Suatu malam, setelah pulang terlambat dari kantor, Emma merasa tubuhnya begitu lelah. Ketika dia masuk ke rumah, Santi sedang duduk di ruang tamu, menunggu kedatangannya.
"Mbak Emma, boleh saya bicara sebentar?" tanya Santi dengan ragu.
"Tentu, ada apa, Santi?" jawab Emma, meski dalam hatinya ia sudah merasa tidak enak.
Santi terdiam sejenak sebelum melanjutkan, "Saya tahu Mbak Emma sangat sibuk dan pasti lelah. Saya hanya ingin bilang bahwa kalau ada hal-hal yang butuh perhatian lebih di rumah, saya siap membantu. Mbak Emma tidak perlu khawatir terlalu banyak."
Kata-kata Santi membuat Emma terharu. Perawat itu memang tidak hanya membantu secara fisik, tapi juga memberi dukungan emosional yang sangat dibutuhkan Emma saat ini.
"Terima kasih, mbak. Aku sangat menghargai itu. Mbak sudah banyak membantu, dan aku tidak tahu apa yang akan kulakukan tanpa mbak disini," jawab Emma dengan jujur.
Namun, meskipun Santi menawarkan bantuan, Emma tetap merasa bahwa tanggung jawabnya tidak berkurang. Bahkan dengan bantuan orang lain, beban emosional yang dia rasakan masih terus menekan.
Malam itu, setelah memastikan ibunya sudah tidur dengan tenang, Emma duduk di meja makan dengan secangkir teh di tangannya. Dia menatap kosong ke luar jendela, mencoba memikirkan jalan keluar dari situasi ini. Sepertinya tidak ada solusi yang mudah. Emma tahu bahwa dia harus melakukan sesuatu, tapi dia belum tahu apa yang bisa dia lakukan untuk mengatasi tekanan yang semakin menumpuk ini.
Tiba-tiba pesan masuk di malam hari.
Emma Helia apakah kau punya keterikatan seperti keluarga? Temanmu Serena Nebula itu ternyata bernama Pravina Helia, nama yang sama dengan nama belakangmu. Kebetulan kalian juga saling mengenal bukan?
Pesan masuk itu dari laki-laki yang membawa Serena kerumah sakit saat pingsan ditaman.
Apa maksudmu?
Kemudian aku membalas pesannya karena kebingungan sendiri. Emma beranjak dari meja makan dan memasuki kamar ibunya.
"Ibu, maaf emma mengganggu. Emma mau tanya, apakah ibu mengenal seorang anak yang bernama Pravina Helia?" Tanya Emma yang sedikit takut dan ragu apakah dia bertanya dimomen yang tepat.
Wajah ibu terkejut, "pada akhirnya kamu pasti akan segera tahu sayang, maafkan ibu yang selama ini merahasiakannya nak," ucap sang ibu yang menunduk merasa bersalah.
"Apa maksud ibu? Apakah dia anak ibu juga?" Tanya Emma yang terkejut dan tak percaya.
"Tidak, dia bukan saudara kandungmu namun dia saudara terdekatmu. Dulu kalian sering main bersama sewaktu kecil, namun karena suatu tragedi. Mentalnya terguncang dan ibu menghindari mereka, menjauhkan mereka darimu." Ibuku menjelaskan dengan cukup yang membuat Emma mengerti.
"Ibu, aku tahu ibu pasti melakukannya karena suatu alasan. Aku tidak akan marah pada ibu, tapi bu setelah aku melihatnya, aku merasa kalau dia perlu Emma sebagai saudaranya. Emma merasa kalau dia sedang kesepian." Emma-pun menjelaskan suatu hal yang sebenarnya bisa dirinya lakukan.
"Ibu, dia sedang dirawat dirumah sakit karena kecelakaan. Kabarnya sampai saat ini belum juga sadar. Jika terhitung dari ibu dirawat, sekarang sudah 2 minggu lebih berlalu. Apakah ibu ingin menjenguknya?" Emma bertanya dengan lembut. Emma paham bahwa situasi saat ini pasti sulit bagi ibu menerimanya.
Ibunya terdiam sejenak, jelas terkejut dengan pertanyaan itu. Tangannya yang lemah meremas selimut di pangkuannya, seolah mencoba menenangkan diri sebelum menjawab. "Ibu tidak tahu harus bagaimana, Emma. Perasaan bersalah ini sudah ibu bawa selama bertahun-tahun. Ibu terlalu takut untuk kembali mengingat masa itu. Tapi.., kalau dia memang butuh kita, mungkin inilah waktunya ibu menghadapi semuanya."
Emma mendekat dan meraih tangan ibunya. "Bu, tidak ada yang perlu ditakutkan. Apa yang terjadi di masa lalu sudah lewat, dan sekarang mungkin adalah kesempatan kita untuk memperbaiki semuanya. Aku akan selalu di samping ibu."
Matanya yang tua tampak berkaca-kaca. "Emma, ibu sangat bersyukur kamu ada. Mungkin... sudah waktunya kita menjenguk Pravina. Bagaimanapun juga, dia adalah bagian dari keluarga kita, meski hubungan ini rumit. Ibu menginginkan kamu yang menjenguknya, ibu akan membuatkan surat untuknya. Apakah kamu bisa menitipkan surat ibu pada keluarganya?"
Emma mengangguk pelan, merasa lega mendengar kesediaan ibunya. "Besok aku akan pergi menjenguk, bu."
-----
Keesokan harinya, Emma bangun lebih awal dari biasanya. Sinar matahari baru saja mulai muncul, tapi pikirannya sudah dipenuhi dengan banyak hal. Surat dari ibunya terasa berat di tangannya, seolah membawa beban masa lalu yang begitu lama terpendam. Meski perasaannya bercampur aduk, Emma tahu dia harus melakukan ini, bukan hanya untuk Pravina, tapi juga untuk ibunya, dan mungkin juga untuk dirinya sendiri.
Setelah memastikan ibunya dalam keadaan baik, Emma berangkat menuju rumah sakit. Jalanan pagi itu terasa lengang, memberikan Emma ruang untuk merenung lebih dalam tentang apa yang akan terjadi nanti.
Setelah tiba di lobi rumah sakit, Emma melihat sekeliling, mencari petugas informasi. Suasana pagi yang tenang di rumah sakit menambah ketegangan dalam dirinya. Ia menghampiri meja resepsionis, di mana seorang petugas dengan seragam rapi sedang duduk di balik meja.
"Selamat pagi," sapa Emma dengan suara yang agak gemetar. "Saya ingin menjenguk seseorang, Pravina Helia. Bisa tolong diberitahu di kamar mana dia dirawat?"
Petugas itu menatap layar komputer di depannya, jarinya bergerak cepat di atas keyboard. Setelah beberapa saat, dia mengangguk kecil. "Pravina Helia dirawat di lantai tiga, kamar 307. Silakan naik menggunakan lift di sebelah kanan, kemudian belok kiri setelah keluar dari lift."
"Terima kasih," jawab Emma sambil tersenyum singkat, meskipun jantungnya berdetak lebih cepat.
Dengan langkah hati-hati, Emma menuju lift yang disebutkan. Perasaan gugup bercampur dengan harapan membawanya pada momen ini. Ketika pintu lift terbuka di lantai tiga, Emma mengikuti petunjuk yang diberikan, berjalan menyusuri lorong rumah sakit yang terasa sunyi.
Setelah berbelok di sudut, dia melihat nomor kamar 307. Pintu kamar itu tampak tertutup, dan seketika Emma merasa ragu, tapi dia tahu bahwa ini adalah sesuatu yang harus dia lakukan. Dengan napas dalam, dia mengulurkan tangan untuk mengetuk pintu. Ketukan ringan di pintu menggema dalam sunyinya ruangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Balancing Acts in the Office "The Realities Behind It"
NonfiksiDi tengah hiruk-pikuk dunia korporat, pasti ada berbagai hal kejadian menarik dan mungkin sering dijumpai oleh para kaum korporat. Bahkan mereka memiliki bahasa atau komunikasi terkhusus untuk menghindari luapan amarah dari atasan. Lingkungan kerja...