Penonton mulai berkumpul, sebagian besar dari mereka tampak akrab dengan tempat ini.
Emma merasa sedikit canggung. Ia belum pernah menghadiri acara semacam ini dalam beberapa tahun terakhir, terutama karena jadwal kerja yang padat. Tapi ada rasa antusiasme dalam dirinya. Dia penasaran dengan apa yang telah dicapai Riva selama bertahun-tahun ini.
Beberapa menit kemudian, seorang wanita dengan rambut panjang bergelombang naik ke atas panggung. Itu dia, Riva. Emma bisa langsung mengenalinya meskipun mereka sudah bertahun-tahun tidak bertemu. Riva tampak lebih dewasa dan percaya diri, dengan senyum lebar yang tak berubah sejak masa SMA mereka.
Suara Riva mengalun lembut di seluruh ruangan saat ia mulai menyanyikan lagu pertamanya. Suaranya masih sama seperti yang Emma ingat: merdu, penuh perasaan, dan mampu menyentuh hati siapa pun yang mendengarnya. Emma merasa seperti dibawa kembali ke masa lalu, ketika mereka berdua sering bercanda tentang impian-impian mereka. Riva ingin menjadi penyanyi profesional, sementara Emma bercita-cita untuk menjadi penulis yang sukses.
Setelah beberapa lagu berlalu, konser berakhir dengan tepuk tangan yang meriah dari penonton. Riva menundukkan kepalanya dan tersenyum sebelum turun dari panggung. Ketika matanya menangkap sosok Emma di tengah kerumunan, wajahnya langsung bersinar. Tanpa ragu, ia melangkah cepat ke arah Emma dan memeluknya erat.
"Emma! Aku nggak percaya kita akhirnya ketemu lagi!" seru Riva, suaranya penuh kegembiraan.
Emma tersenyum, merasakan kehangatan persahabatan lama yang langsung kembali meskipun bertahun-tahun telah berlalu. "Aku juga nggak percaya! Kamu luar biasa tadi di panggung. Suaramu masih indah seperti dulu."
Riva tertawa kecil, melepaskan pelukan mereka. "Makasih! Tapi kamu juga luar biasa. Aku dengar-dengar kamu udah sukses sekarang, kerja di perusahaan besar di Jogjakarta. Aku bangga banget sama kamu."
Mereka berdua duduk di sebuah meja di dekat panggung, memesan minuman, dan mulai bercerita tentang kehidupan masing-masing. Riva bercerita bagaimana ia pindah ke Bali setelah SMA, mengejar karier sebagai penyanyi di berbagai kafe dan acara-acara kecil. Setelah beberapa tahun berjuang, akhirnya dia mendapat kesempatan besar untuk tampil di beberapa festival musik terkenal. Kini, dia tinggal di Jakarta.
"Kamu tahu, Em," Riva berkata sambil menyeruput kopinya. "Mimpi jadi penyanyi itu ternyata nggak semudah yang aku bayangkan. Aku harus jatuh bangun dulu. Kadang-kadang aku hampir nyerah, tapi setiap kali aku tampil, semua kerja keras itu terasa worth it."
Emma mendengarkan dengan seksama, merasa kagum pada semangat sahabat lamanya. "Aku selalu tahu kamu bisa. Kamu selalu punya bakat dan kemauan yang besar. Aku senang kamu nggak pernah nyerah."
"Terima kasih," jawab Riva dengan senyum hangat. "Tapi gimana dengan kamu? Gimana kehidupanmu sekarang? Apa yang udah kamu capai?"
Emma terdiam sejenak, mencoba merangkai kata-kata. "Ya, aku kerja di perusahaan besar sekarang, menangani beberapa proyek penting. Kedengarannya bagus, kan?" Ia tertawa kecil, tapi suaranya terdengar berat.
Malam itu, Emma mengenalkan Riva pada Pravina. Pravina, yang awalnya hanya mendengar cerita singkat tentang Riva dari Emma, merasa sedikit gugup. Namun, Riva langsung tersenyum hangat dan menyambut Pravina dengan pelukan yang lembut. Pravina yang baru mengenal Riva merasa langsung nyaman, dan mereka dengan cepat akrab. Suasana di antara mereka pun segera berubah menjadi hangat, dengan canda dan tawa mengalir sepanjang percakapan.
Di tempat yang sama, Aldo bergabung dengan mereka. Emma menyadari ada perubahan pada diri Aldo; tatapan matanya seolah memancarkan perasaan yang belum selesai, khususnya ketika ia melirik ke arah Riva. Setelah lama tak bertemu, ada sebuah kisah lama yang seakan terungkit di antara mereka. Emma ingat dengan jelas bagaimana Aldo pernah menyukai Riva di masa SMA, namun kisah itu tidak berakhir seperti yang ia harapkan.
Dulu, Aldo rela berpura-pura menjalin hubungan dengan Desi, seorang teman sekelas mereka yang ambisius dan manipulatif, demi melindungi Riva. Desi kerap menyimpan rencana licik untuk menjatuhkan Riva, terutama karena rasa cemburunya pada kedekatan antara Aldo dan Riva. Aldo akhirnya memilih untuk menjalin hubungan dengan Desi, berharap itu bisa menenangkan Desi dan menjauhkan niat buruknya dari Riva. Sayangnya, pengorbanan itu tak berlangsung lama. Setelah lulus SMA, Aldo dan Desi putus, dan Aldo pun tak pernah memiliki kesempatan untuk mengungkapkan perasaannya yang sebenarnya pada Riva.
Namun, Emma kini tahu ada satu hal yang mungkin membuat Aldo terlambat. Riva sudah bertunangan dengan seseorang bernama Diva, seorang pria yang juga berkarier di dunia musik. Hubungan mereka cukup serius, dan Riva tampak sangat bahagia dengan pria itu. Emma melihat Aldo hanya terdiam beberapa saat saat melihat cincin di jari manis Riva, namun dengan cepat ia mencoba mengendalikan perasaannya.
Sementara Emma, Pravina, dan Riva menikmati obrolan seru mereka, Aldo diam-diam mendekati Diva yang sedang berdiri di pinggir ruangan. Diva, seorang pria dengan sikap tenang dan karisma alami, menyambut Aldo dengan senyum hangat. Mereka berdua mengobrol jauh dari Riva, membicarakan sesuatu yang hanya mereka pahami.
“Aku tahu kamu tunangan Riva,” kata Aldo pelan, mencoba menjaga suaranya agar tidak terdengar oleh yang lain. “Kalian pasti sudah melalui banyak hal untuk bisa sampai di titik ini.”
Diva mengangguk, menyimak dengan serius. "Aku sangat mencintai Riva. Dia adalah perempuan yang luar biasa, dan aku merasa beruntung bisa mendampinginya."
Aldo menatap Diva dengan dalam, mencoba mencari ketulusan dalam setiap kata yang keluar dari mulut pria itu. “Kalau begitu, aku hanya ingin kamu tahu satu hal. Jangan pernah biarkan Riva terluka lagi seperti dulu. Dia pernah melalui masa yang sangat sulit, dan aku tidak ingin melihat air matanya jatuh lagi seperti waktu itu.”
Diva terdiam sejenak, lalu mengangguk dengan penuh pemahaman. “Aku tahu apa yang Riva pernah alami. Dan aku berjanji, aku akan melakukan segalanya untuk membuatnya bahagia. Aku tidak akan membiarkan siapapun atau apapun menyakitinya.”
Aldo merasa lega mendengar janji itu. Meski ia masih menyimpan perasaan untuk Riva, ia tahu bahwa hidup terus berjalan dan Riva sudah menemukan orang yang membuatnya bahagia. Bagi Aldo, yang terpenting adalah kebahagiaan Riva, bahkan jika itu berarti dia harus melepaskan rasa yang masih ada dalam hatinya.
Di meja lain, Pravina yang awalnya terlihat pendiam kini sudah larut dalam percakapan seru dengan Riva dan Emma. Mereka tertawa bersama ketika Riva bercerita tentang kelucuan masa SMA mereka, di mana Riva seringkali tampil di panggung dan Emma selalu bersembunyi di belakang layar, membantu mengatur segala sesuatunya."Jadi kamu itu penyanyi?" tanya Pravina, matanya bersinar penuh rasa ingin tahu. "Emma cerita banyak tentang kamu, tapi aku nggak nyangka kamu seterkenal ini."
Riva tersenyum lembut. "Ah, terkenal sih enggak, cuma kebetulan bisa tampil di beberapa tempat aja. Dunia hiburan itu memang keras, dan kadang-kadang melelahkan. Tapi kalau sudah di panggung, semua perjuangan itu terasa sepadan.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Balancing Acts in the Office "The Realities Behind It"
SaggisticaDi tengah hiruk-pikuk dunia korporat, pasti ada berbagai hal kejadian menarik dan mungkin sering dijumpai oleh para kaum korporat. Bahkan mereka memiliki bahasa atau komunikasi terkhusus untuk menghindari luapan amarah dari atasan. Lingkungan kerja...