Ketika semua duduk di meja makan, suasana yang semula canggung perlahan-lahan mulai mencair. Piring-piring penuh dengan ayam goreng, sayur asem, dan sambal terasi kini tersaji di tengah meja, mengingatkan mereka pada masa-masa dulu saat semua terasa lebih sederhana. Masing-masing mencoba mencari kenyamanan dalam keheningan yang menyejukkan, sesekali tersenyum satu sama lain. Ini adalah momen langka, karena biasanya meja makan mereka diisi oleh obrolan singkat atau bahkan keheningan yang dipenuhi dengan jarak emosional.
Chika, yang masih tampak sedikit canggung, menunduk sambil memegang sendoknya. Tangannya bergetar sedikit, tapi Jinan, yang duduk di sebelahnya, diam-diam menyentuh punggung tangannya sebagai bentuk dukungan.
"nggak apa-apa, dek. Semuanya baik-baik aja" bisiknya pelan.
Thea, yang memperhatikan dari seberang meja, merasa hatinya semakin lapang melihat anak-anaknya mulai menyatu kembali. Meski dia tahu ini hanyalah permulaan, tapi senyum dan tatapan penuh kasih dari masing-masing anaknya membuat dia merasa bahwa segala upaya ini tak sia-sia.
"Mamah bersyukur kita bisa makan bareng kayak gini lagi. Terima kasih, semuanya, sudah memberikan mamah kesempatan ini."
Gracia yang duduk di sebelahnya tersenyum lembut.
Shani, yang duduk di sudut meja, mengamati semua orang dengan hati-hati. Sebagai anak tertua, ia merasa bertanggung jawab untuk menjaga agar suasana tetap damai, meskipun ada beberapa kenangan pahit yang masih terpatri di benaknya. Dia tahu, kesatuan keluarga ini tak akan pulih secepat itu. Ada begitu banyak luka yang belum benar-benar sembuh. Tapi malam ini, saat mereka duduk bersama dan menikmati makanan yang dibuat dengan cinta, itu sudah merupakan langkah besar.
"rasanya enak, Mah," ujar Shani dengan senyum lebar, mencoba mencairkan suasana.
"jadi inget waktu kecil, mamah sering masak kayak gini buat kita."
Thea menunduk sedikit, matanya berkaca-kaca.
"iya, dulu mamah sering masak buat kalian, sebelum semuanya jadi lebih rumit. Mamah ingin kita bisa kembali seperti itu, kalau bisa lebih baik lagi." Suaranya sedikit bergetar, menunjukkan betapa besar keinginannya untuk memperbaiki kesalahan masa lalu.
Jinan, yang biasanya penuh dengan komentar sarkastis, kali ini hanya mengangguk setuju.
"iya, Mah, semoga kita bisa lebih sering kayak gini. Biar nggak cuma bi Inem yang masak terus."
Gracia tertawa kecil, dan suasana di meja mulai terasa lebih ringan. Masing-masing mulai berbagi cerita ringan, tentang kegiatan sehari-hari, tentang hal-hal lucu yang mereka alami. Bahkan Chika, yang semula begitu canggung, akhirnya tersenyum kecil dan ikut menyuap nasi dan ayam goreng di piringnya.
Namun, di balik kebahagiaan itu, masih ada satu bayangan yang terus menghantui mereka. Papa mereka. Thea tahu, tak peduli seberapa keras dia mencoba mendekatkan diri dengan anak-anaknya, tanpa kehadiran suaminya, keluarga ini masih belum benar-benar utuh.
"dimakan dek sayurnya" ucap Shani pada Chika yang hanya mengaduk-aduk sayurnya
"adek kan gasuka sayur ci" ucap Chika yang kemudian melihat mamahnya sekilas, ia takut kalau-kalau mamahnya memarahinya lagi
"mau mamah suapin dek?" tanya Thea tiba-tiba yang membuat suasana kembali canggung
Chika tertegun sejenak. Tawaran mamahnya untuk menyuapi membuat suasana yang sudah mulai hangat kembali terasa sedikit tegang. Semua mata tertuju pada mereka, menanti bagaimana Chika akan merespons. Ia menunduk, seolah merenungkan sesuatu, sementara tangannya masih menggenggam sendok yang ia aduk-aduk di mangkuk sayur.
KAMU SEDANG MEMBACA
MY SISTER'S
FanfictionCerita tentang 4 kaka beradik yang saling menyayangi dan menjaga satu sama lain. Dimana yang anak sulung harus menggantikan peran kedua orang tuanya, walaupun sebenarnya orang tua mereka masih ada. "ci, buat apa Chika hidup kalo papa mama enggak say...