Ia Merobek Satu Halaman Dari Buku Puisinya

4 1 0
                                    

Ia menulis, lagi-lagi menulis, di sudut malam yang tak berujung. Baris-baris elegi berlarian di atas kertas kusut. Tangannya seperti dililit bayang-bayang, yang tak pernah benar-benar menjauh, namun juga tak lagi bisa didekap.

Setiap kata, setiap lekuk tinta, bagai air mata yang membeku di pipinya. Ia mencintai masa lalu seperti hujan yang datang tanpa disambut-dibiarkan menggenang, tapi tak pernah mengering. Ia pernah mencinta dengan segenap jiwa, dan kini luka itu telah menjadi puisi yang enggan berhenti mengalir.

Tapi ada sejumput harap, tersembunyi di antara jeda. Di balik rintihan kata-kata, ia mendengar suaranya sendiri. "Sudah waktunya," hatinya berbisik pelan, "melepaskan genggaman yang tak lagi terasa."

Namun, ada kekuatan misterius dalam kesedihan yang ia genggam erat, seakan-akan kehilangan itu adalah satu-satunya yang tersisa dari cintanya yang pernah begitu dalam. Ia tahu bahwa sembuh adalah sebuah keberanian, namun bayang masa lalu menjeratnya dengan janji-janji semu yang telah usang, namun tetap menggoda.

Dalam heningnya, ia berbisik kepada diri sendiri, "Apakah mungkin luka ini bisa menjadi jalan pulang? Apakah aku mampu merelakan, ataukah cinta adalah kutukan yang tak terhindarkan?"

Malam merentangkan sayapnya, seperti memeluk resah yang masih mengambang. Ia mendongak, menatap langit tanpa bintang. Di sana, ia meletakkan semua rasa sakitnya, berharap angin akan menerbangkan keluh kesahnya. Tapi, adakah angin yang cukup kuat untuk membawa pergi hati yang sudah terlalu berat oleh masa lalu?

Ia ingin sembuh. Ia ingin melupakan. Tapi setiap kata yang ia tulis, membawa kembali serpihan kenangan yang dulu pernah begitu hangat, dan kini hanya menyisakan dingin yang tak kunjung pergi.

"Apa artinya mencinta, jika akhirnya harus berakhir dengan lupa?" Pertanyaan itu menggantung di langit kelam. Dan dalam keheningan, ia tahu, jawaban itu tidak perlu ditemukan-mungkin hanya perlu dilepaskan.

Ia merobek satu halaman dari buku puisinya, membiarkan sobekan itu jatuh ke lantai, seperti bunga layu yang tak sempat mekar. Lalu.. sembuh bukan soal melupakan, bisik hatinya, tetapi berdamai dengan ingatan



Sen, 13:06.

CATATANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang