06. Hujan

423 71 8
                                    





 ¯ Klandestin ¯








Ketika Asa menemukan hal menarik, ia pasti akan mempelajarinya dengan tekun. Itulah yang membuatnya perlahan tertarik dengan gadis yang memiliki bahasa yang indah itu. Caranya berkomunikasi seakan menjelaskan emosi dalam dirinya, bahkan ketika ia tak mengeluarkan suara sedikitpun.

Asa tertarik.

Ia begitu mengagumi gerakan itu, seakan suaranya melewati gendang telinganya secara langsung.

Itulah sebabnya ia diam-diam memperhatikan Rora, hingga membuatnya sedikit hapal dengan tingkah laku gadis itu, ciri fisik, hingga aroma tubuhnya saat berada di dekatnya.

Kini sudah banyak kosa kata yang ia ketahui, namun ia tak tau pasti apakah gerakannya sudah tepat atau belum. Ia tak mempunyai teman yang bisa mengoreksi gerakannya.

Satu-satunya cara adalah dengan memperhatikan gerakan tangan Rora.

Asa memperhatikan dengan intens Rora yang kini tengah berinteraksi dengan dua temannya. Sesekali alisnya mengernyit dengan gerakan yang baru dilihatnya.

Sedangkan Haerin—siswi yang baru kembali bersekolah setelah beberapa bulan menjalani pertukaran pelajar di Jepang—bergantian melihat Asa dan Rora. Ia cukup jengah dengan tingkah Asa yang terlalu lambat menurutnya.

"Kenapa ga langsung samperin aja?"

Asa menoleh, "Maksudnya?"

Haerin mendesah malas, "Ya daripada ngeliatin dari jauh terus."

Asa terlihat berpikir sejenak lalu mengangguk, "Ide bagus. Kenapa ga kepikiran, ya?"

Setelah itu Asa beranjak meninggalkan Haerin yang kini menyantap makanannya lagi dengan tenang.

Namun beberapa saat kemudian Haerin dibuat bingung dengan Asa yang kembali duduk dengan membawa sekotak susu coklat.

"Ga jadi?" Tanya Haerin penasaran.

Asa menggeleng, "Bentar lagi bel masuk."

Haerin melirik jam di tangannya, dua menit lagi. Ia menghembuskan napasnya kasar. Asa ini ternyata lambat juga, ya.

Kemudian kembali melihat Asa yang memperhatikan Rora dari jauh

Lagi.





  
 





;













Helaan napas lolos dari bibirnya, matanya terpejam menikmati keheningan di sekitarnya. Jam pelajaran sudah berakhir tiga puluh menit yang lalu. Dan Asa masih disini—perpustakaan—karena jam pelajaran terakhir para guru mengadakan rapat.

Kedua mata yang sebelumnya terpejam itu perlahan terbuka ketika aroma petrichor menguar memasuki indra penciumannya. Dilihatnya langit yang tadinya cerah perlahan menggelap, disusul dengan tetesan air yang membasahi bumi dengan deras.

Kedua sudut bibirnya tertarik ke atas.

Untuk kesekian kalinya, bumi seakan mengerti dirinya.

Ingat sekali, hanya hujan yang mendekap tubuhnya disaat dunia membuangnya.

Asa termenung.

Bayangan dua tahun lalu kembali menghantuinya.

Sungguh, dari lubuk hatinya yang terdalam ia benar-benar ingin meminta maaf dengan benar. Ia ingin memohon pengampunan pada seorang anak yang harus menanggung penderitaan akibat ulahnya dua tahun yang lalu. Seorang anak yang harus kehilangan kedua orang tuanya karena keegoisan Asa.

Klandestin | Asa X RoraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang