7 . Yang lebih daripada apapun

523 72 5
                                    

Kala itu, perang terjadi secara tidak terduga. Ketika Felix menyadari ada sesuatu yang salah, semuanya telah terlambat.

Bunyi tembakan menggema di mana-mana, kepala seorang bangsawan menggelinding di bawah kakinya, dan teriakan melengking seorang putri kerajaan membuka celah kepanikan bagi seluruh orang yang berkumpul di acara pertunangannya.

Orang-orang menerobos masuk ke dalam aula, menebas, menembak, dan merangkai mantra bagi siapa saja yang menghalangi jalannya. Berseru dengan mengangkat benda semacam bola yang dilapisi cahaya cerah, menujuk ke arahnya. "Demi kekuasaan kita! Demi sihir yang mulia! Orang-orang fasik ini, musnahkan seluruhnya!"

Dan ia yakin, di situlah semuanya menjadi salah.

🥀

Persetan dengan siapapun yang menyuruhnya melakukan ini!

Felix berpikir dengan getir sambil meneriakkan perintah kepada para rakyatnya untuk segera bergerak mengevakuasikan diri. Menyerukan kalimat agar mereka bergerak lebih cepat, dan tak lupa mengancam siapapun yang berani menghambat gerakan penyelamatan diri yang diaturnya.

Sial. Siapa yang berani menempatkannya pada posisi ini??

Oh benar, ayahnya.

Pria itu kini berada jauh di depan, memegang pedang kebanggaannya bersama Selvi, sang master pedang termuda. Melakukan hal yang sangat mengancam nyawa, yang tidak bisa dibandingkan dengannya. Yakni memimpin rombongan para ksatria dan peleton-peletonnya. Melakukan segala upaya untuk menghentikan para penyihir yang entah mengapa tiba-tiba memulai peperangan.

"Ayo pergi, Felix." Suara seorang pria terdengar di telinganya, berdesir di antara teriakan ribut dari orang-orang yang memekik ketakutan. "Tidak ada waktu untuk melamun," tegurnya.

Felix menoleh, menatap wajah pria berkacamata yang tampak terpelajar di hadapannya. Oh, itu Ethan.

Kakaknya itu mencengkram pergelangan tangannya, berbicara dengan nada tegas, memastikan dia mendengarkan apa yang  dikatakannya dan tidak melakukan tindakan bodoh.

"Ayo," ajak Ethan sekali lagi.

Felix segera tersadar, dan mulai bergerak mengikuti kakaknya yang sudah berjalan beberapa langkah di depan. Memperlihatkan punggungnya yang dibalut jubah biru tua.

Meliriknya dan berhenti sejenak.

"Aku tahu, aku tahu." Felix mempercepat jalannya, bergerak berdampingan agar kakaknya merasa puas.

Lagipula, tindakan bodoh apa yang bisa dia lakukan di saat-saat genting begini?

---

Felix merasa konyol.

Perang yang berlangsung selama hampir satu tahun ini telah mengguncang mentalitasnya, membuatnya melakukan aksi bodoh, yang kini membawanya pada masalah baru.

Dalam kondisi tidak bertenaga akibat kelebihan beban sihir, ia kembali ke ibu kota. Bersama Ned yang bergerak membopongnya dari samping, hanya untuk mendapati penghakiman dari seluruh bangsawan di sana.

Dia telah berusaha keras, lebih dari apapun, lebih dari seharusnya. Namun bukan rasa hormat yang ia dapatkan, melainkan tatapan para bangsawan yang seakan sedang melotot dan menelanjanginya tanpa ampun. Memberikan rasa penghinaan di dalam hatinya yang semakin tidak nyaman.

The Terrible Lonely Prince Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang