bab 8

15 9 0
                                    

“Wah…! Rasanya benar-benar enak.”

“Aku tidak ingat kapan terakhir kali kami makan kue.”

Saat ini, Aslan, Amanda, dan Ishak sedang berjalan-jalan di pasar. Mereka baru saja membeli beberapa kue setelah membeli pakaian.

“Benarkah? Aku senang kalian menyukainya,” ucap Aslan, tersenyum bahagia saat melihat Amanda dan Ishak memakan kue yang mereka beli dengan lahap.

“Terima kasih,” ucap Amanda malu-malu.

Amanda terlihat sangat menikmati kue itu, padahal belum lewat 10 menit lalu dia menolak dan menyarankan untuk berhemat saat hendak membeli baju.

“Apa kau yakin ini tidak masalah? Kita sudah menghabiskan banyak uang. Lebih baik uang itu kita gunakan untuk membeli beras,” ucap Amanda sambil menarik tangan Aslan.

“Sudah kubilang tak perlu khawatir. Aku akan membuat hari ini menjadi hari terbaik yang pernah kalian alami,” ucap Aslan dengan semangat. Amanda yang mendengar itu pun terdiam, dia tidak tahu harus merespons bagaimana.

Mereka pun mengelilingi pasar. Aslan membelikan semua yang Ishak inginkan. Meski Amanda terkadang melarang, Aslan tetap membelikannya. Mereka membeli buah, mainan, alas kaki, permen, dan beberapa camilan lainnya.

“Hai, bisakah kita berkenalan? Aku tidak pernah melihatmu di desa ini,” ucap seorang gadis.

Tak lama kemudian, beberapa gadis lain ikut datang menghampiri mereka. Amanda yang melihat itu pun terlihat cemburu. Tanpa berpikir panjang, dia pun merangkul tangan Aslan dan mengajaknya pergi.

Setelah mereka pergi cukup jauh, Aslan pun berbicara pada Amanda.

“Amanda, kau meremas tanganku terlalu keras.”

“Ah… maaf, aku tidak bermaksud begitu,” ucap Amanda dengan wajah memerah.

“Kakak! Lihat itu, patung kayu itu terlihat keren,” teriak Ishak dengan penuh antusias. Patung kayu itu berbentuk seorang kesatria yang sedang memegang pedang panjang di depannya.

“Hahaha, kau benar, ini memang keren, karena ini adalah patung salah satu dari sepuluh orang terkuat di dunia: Alam, sang kesatria pedang sihir,” ucap penjaga kedai tersebut.

“Alam?” ujar Ishak kebingungan.

“Ya, Alam, dia pahlawanku.”

Alam adalah orang pertama dan satu-satunya rakyat kelas rendah yang menjadi salah satu orang terkuat di dunia.

Saat dia masih kecil, dia dijual sebagai budak dan orang tuanya mati dibunuh karena tidak mampu membayar hutang. Dia pun dibeli oleh seorang pedagang yang merupakan bangsawan kelas rendah.

Hidupnya saat itu sangat menyedihkan. Dia diperlakukan lebih buruk daripada binatang. Terkadang dia tidak mendapatkan makanan, namun tetap dipaksa bekerja setiap hari. Dia sering kali dihukum meskipun tidak melakukan kesalahan apapun.

Setiap harinya dipenuhi penderitaan. Mungkin mati lebih baik baginya saat itu. Namun tanpa diketahui pemiliknya, Alam diam-diam belajar cara menggunakan energi tors dan tumbuh menjadi pemuda yang kuat. Dia pun menghancurkan keluarga bangsawan itu dan mengambil semua harta mereka. Dengan itu, dia mendirikan grup dagang yang baru. Alam sering kali membantu mereka yang kesusahan, sehingga banyak orang yang ikut membantunya dalam berbisnis.

Dengan beberapa mantra tingkat rendah yang dimiliki pemiliknya sebelumnya, dia pun menciptakan tekniknya sendiri: Pedang Sihir. Awalnya, dia ditertawakan karena teknik itu dianggap tidak efisien, namun dengan teknik itulah dia menjadi salah satu yang terkuat.

Dengan kekuatannya itu, seorang raja yang juga merupakan temannya menikahkan Alam dengan saudarinya sendiri.

Namun, seperti para terkuat sepanjang masa, Alam juga menghilang entah ke mana. Yang tersisa hanyalah kisahnya yang melegenda.

“Wah! Keren!” ucap Ishak, terkagum-kagum saat mendengar cerita dari penjaga kedai.

Berbeda dengan Ishak, Aslan malah terlihat sedih. Cerita yang diceritakan oleh penjaga kedai itu adalah cerita yang cukup terkenal dan sering diceritakan oleh masyarakat. Selain dari kisahnya yang sering membantu orang yang ditindas, kisahnya tetap menginspirasi: perjuangan seorang budak lemah menjadi orang yang sangat disegani. Meskipun dia bukan yang terkuat, dia adalah yang terbaik.

Cerita itu sebenarnya tidak menyedihkan, namun yang membuat Aslan sedih adalah hal lain. Cerita itu selalu dia dengar saat masih kecil, selalu diceritakan oleh pamannya. Saat pemilik toko bercerita, Aslan teringat dengan pamannya, orang yang selalu ada untuknya saat masih kecil.

“Aslan… kamu kenapa?” tanya Amanda yang melihat Aslan bersedih.

“Ha? Ah… bukan apa-apa, ayo kita pulang. Tidak terasa, hari sudah makin gelap,” ucap Aslan.

***

“Makanan sudah siap, ayo kita makan,” ucap Amanda sambil membawa nasi, sedangkan Ishak membawa piring dan lauk.

“Kalian makan saja duluan,” ucap Aslan yang sedang duduk bersandar menatap bintang-bintang di langit.

“Kamu kenapa? Sejak kembali dari pasar, kamu selalu saja termenung,” ucap Amanda.

“Bukan apa-apa, kamu tidak perlu khawatir,” ucap Aslan.

“Ceritakan saja, apa kau punya masalah? Aku mungkin bisa membantu. Kau tahu, bagi kami, kau sudah seperti keluarga,” ucap Amanda dengan lembut.

“Hah…” Aslan menghela nafas. “Aku merindukan keluargaku,” ujar Aslan.

“Lalu mengapa kamu tidak pulang?” tanya Amanda.

“Itulah masalahnya. Aku tidak tahu keberadaannya. Aku terpisah dengan keluargaku waktu aku masih kecil. Aku tidak tahu arah untuk pulang. Aku bingung. Kau tahu, sama sepertimu, aku juga sudah menganggap kalian sebagai keluarga. Aku tak tahu harus berbuat apa. Aku tidak ingin pergi jauh dari kalian dan juga aku takut tidak dapat menemukannya. Namun, aku sangat ingin bertemu dengannya”

Amanda yang mendengar itu pun menyandarkan kepalanya di pundak Aslan. Amanda ikut merasa sedih. Di pikirannya, Aslan sudah lama mengembara mencari keluarganya. Seberapa banyak masalah yang dia lalui dan sebesar apa kesepiannya selama ini.

“Mengapa kau begitu bingung? Meski Kak Galang tidak tahu keberadaan mereka, tapi Kakak tahu cara kembali ke sini. Kami akan selalu di sini dan akan selalu menerima kedatanganmu. Kau bisa pulang ke sini saat kau kesepian, kelelahan, atau sebagainya. Kau bisa pulang kapan saja, percayalah, kami akan selalu menerimamu,” ucap Amanda dengan lembut.

“Sejujurnya, sepertinya aku menyukaimu,” ucap Amanda lalu menatap Aslan. Aslan yang mendengar itu pun terkejut. Dengan perlahan aslanpun memandang Amanda, memandang wajah gadis itu.

Di bawah kilauan bintang dan terangnya bulan, mereka saling berpandangan. Wajah mereka saling mendekat. Saat bibir mereka hampir bertemu, tiba-tiba suara Ishak terdengar dari dalam gubuk.

“Kakak! Mengapa begitu lama? Aku sudah sangat lapar!”

Mendengar Ishak, mereka pun kembali tersadar dan menjaga jarak.

“Maafkan aku, aku terbawa suasana,” ucap Aslan dengan wajah merah.

“Tidak apa-apa, akulah yang harusnya meminta maaf, akulah yang memulai duluan,” ucap Amanda dengan wajah merah juga.

“Amanda, sepertinya aku juga…”

“Ayolah… mengapa Kakak begitu lama? Apa yang sedang kalian bicarakan?” ucap Ishak yang keluar dari gubuk karena tidak ada yang merespon sebelumnya.

“Ah… bukan apa-apa. Ayo masuk, angin sudah terasa makin dingin,” ucap Aslan masuk ke dalam gubuk, lalu diikuti oleh Amanda dan Ishak.

Bersambung...

My destiny: looking for peace (Volume 1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang