01

78 20 36
                                    

"kakak, dunia di luar sana seperti apa?" Tanya Luna, dia seorang remaja 15 tahun yang belum sekalipun melihat dunia luar, ia selalu terkurung di kamarnya selama 15 tahun, ia tak menggunakan ponsel atau internet. Ia sungguh terisolasi dari dunia luar karena keluarganya.

"Tak terlalu indah seperti di imajinasimu," jawab Jenan, remaja 17 tahun yang sangat menyayangi adiknya, yaitu Luna. Ia bisa melakukan semua hal demi Luna, jika diminta, Jenan pun siap mati hanya demi Luna.

"Kakak tahu, Luna sering kali melihat keluar dari celah ventilasi di sana, tapi sekarang sudah ditutup oleh papa," Luna mengadu pada Jenan, pasalnya satu-satunya tempat melihat dunia luar kini tertutup sempurna.

"Kamu ingin melihat dunia luar? Nanti kakak ajak kamu keluar ya," Jenan hanya memberikan harapan pada Luna, walau sebenarnya membawa Luna keluar adalah keinginannya juga.

"Beneran? Kalau begitu Luna ingin melihat hujan. Luna sangat suka hujan, setiap hujan turun ada aroma yang menenangkan, tapi Luna tak suka dengan suara yang gelegar saat hujan," Luna dengan antusias menceritakan kesukaannya dengan hujan pada Jenan.

"Iya, nanti kakak ajak Luna melihat hujan," Jenan tersenyum walau ia tahu jika ucapannya tersebut sangat mustahil terwujud.

"Oh ya, Luna juga sempat lukis hujan. Kakak mau lihat?" Luna dengan antusias mengambil kanvas yang cukup besar untuk menunjukkan lukisan hujan yang ia buat dari imajinasinya sendiri.

"Wah, bagus sekali!" puji Jenan yang tak kalah antusias mendukung hobi Luna.

Sudah banyak sekali lukisan yang luna buat untuk menuangkan imajinasinya tentang dunia luar yang selalu di dambakan. Berbagai lukisan dengan ciri khas yang sama, yaitu selalu menggunakan warna kelabu dengan sedikit cahaya, sesuai dengan kondisi kamar Luna saat pagi hari.

Brak...

Tiba-tiba seseorang masuk dengan wajah yang penuh amarah, orang tersebut adalah Arveno Devandra. Arven adalah pria 38 tahun, ia orang tua dari Jenan dan Luna.

"JENAN!" Arven membentak Jenan, tanpa Jenan tahu apa alasan dari sang papa marah.

"Ikut papa," Tanpa basa-basi, Arven menyeret Jenan sekuat tenaga hingga kerah baju Jenan robek.

"Papa, jangan sakiti kakak!" Luna mengikuti Arven, tapi belum juga ia sempat keluar dari kamarnya. Pintu kamar Luna sudah dibanting keras dan dikunci dari luar.

Bark...brak....

"PAPA JANGAN SAKITI KAKAK!" Luna menangis meraung-raung menggedor pintu kamarnya untuk dibukakan.

"KAKAK... PAPA... MAMA..." Luna mencakar-cakar pintu kamarnya hingga tangannya memerah dan mengeluarkan darah.

Sudah banyak sekali bercak darah dan cakaran Luna di pintu kamarnya, ia selalu menangis meraung-raung saat mendengar suara ayahnya marah pada Jenan.

Entah apa alasan Arven memarahi Jenan, pasalnya Arven tak pernah sekalipun memarahinya dan selalu bersikap lembut, berbanding jauh saat bersama Jenan. Saat bersama Jenan, Arven selalu menggunakan nada tinggi saat berbicara.

"PAPA... BUKA PINTUNYA..." suara Luna mulai parau karena terus berteriak.

Luna bersandar pada pintu kamarnya, ia sangat berharap ada seseorang yang membukakan pintu kamarnya.

Ceklek...

Terdengar suara kunci pintu terbuka, Luna pun menjauh dari pintu tersebut. Ia menunggu seseorang yang akan membuka pintu kamarnya.

"Luna sayang," Devi memeluk putri bungsunya untuk menenangkannya.

Deviana Dona Lita, ia adalah wanita 37 tahun yang sangat lembut, ia tak pernah membedakan anaknya, tak seperti Arven yang hanya menyayangi putrinya saja.

wingless butterflyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang