05

146 25 207
                                    

Matahari sudah menampakkan sinarnya yang indah, tapi nampaknya suasana di kediaman Arven tak sehangat sinar matahari, melainkan sedingin es.

Tampak keheningan tanpa suara, tak ada keributan seperti biasa. Suara bentakan dari Arven maupun suara Jenan yang memohon ampun.

Suasana tenang yang selalu diharapkan oleh Arven, tapi tak seperti pikirannya kini yang ramai dengan berbagai pikiran buruk yang memenuhi isi kepalanya.

"Mau ke mana kamu pagi-pagi gini?" tanya Arven yang melihat Devi sudah rapi dengan dress di pagi hari.

"Bukan urusan Anda," cuek Devi, ia pun berlalu begitu saja meninggalkan Arven yang bersantai sambil meminum kopi.

"Istri kurang ajar," dumel Arven yang melihat Devi berlalu begitu saja tanpa berpamitan dengannya.

Di sisi lain, Devi sedang dalam perjalanan menuju rumah sang papa, yaitu Dangkuk Alatas, seorang pengusaha properti yang sangat sukses.

Dangkuk Alatas, atau yang terkenal dengan sebutan Tuan Alatas, tersebut mempunyai beberapa bisnis lain seperti kosmetik dan makanan.

Kini bisnis kosmetik tersebut diambil alih oleh Devi, sedangkan bisnis makanan milik Alatas kini diambil alih oleh Riana Artika, kakak tiri dari Devi.

"Selamat datang, nona," sambut seorang satpam yang menjaga di kediaman mewah milik Alatas.

Satpam tersebut menunduk hormat saat melihat mobil milik anak tuannya datang, ia juga membukakan pintu mobil Devi sambil terus menunduk hormat.

"Pak, apakah papa ada di rumah?" tanya Devi yang baru saja keluar dari mobilnya. Bukan tanpa alasan Devi menanyakan hal tersebut, pasalnya ia datang ke rumah sang papa secara mendadak.

"Ada, non. Kemarin juga nona pertama datang menemui Tuan Alatas," jawab satpam tersebut dengan sopan.

"Ya sudah, lanjutkan kerjanya," ucap Devi lalu segera menemui Alatas, ada sesuatu penting yang harus ia bicarakan.

Saat baru masuk, dirinya sudah disambut dengan teriakan gembira dari Riana. Riana langsung menghampiri Devi lalu memeluk Devi dengan erat seperti anak kecil yang sedang memegang lolipop.

"Kenapa nggak bilang-bilang, aduh adek kecil kakak makin besar aja," saking gembira Riana mengoyang-goyangkan badan Devi.

"Bukan makin besar, tapi emang udah tua," ucapan Devi tersebut seketika membuat Riana tersadar akan usianya sekarang.

"Jangan bilang gitu, kita masih muda," Riana tak mau mengakui dirinya sendiri jika sudah tua, sungguh ia benci dengan umurnya yang bertambah seiring berjalannya waktu. Riana sangat ingin jika usianya terus berada di usia remaja tanpa harus menutup usia (meninggal).

"Terserah Kakak aja lah," pasrah Devi.

"Kakak, kenapa tumben datang ke rumah papa?" tanya Devi, pasalnya Riana satu tahun terakhir berada di Singapura ikut sang suami dalam perjalanan bisnis.

"Sebenarnya satu minggu lagi balik ke Indo, tapi aku aja yang gak sabaran. Aku sudah sangat merindukan anak bungsu ku, Jadi anak pertama dan suami ku masih ada di Singapura," jelas Riana.

"Kenapa gak langsung ke rumah kakak sendiri, kan cuman sebelahan sama rumah papa?" tanya Devi, pasalnya rumah Riana berada tepat di samping rumah Alatas.

"Takut ada hantu kalau sendiri, lagian Kiran selama aku tinggal ke Singapura aku titipin disini," jawab Riana, yang memang benar dirinya sangat penakut.

"Yasudah, kalau begitu aku mau ketemu papa. Papa di mana sekarang, kak?" tanya Devi pada Riana yang kini sedang berada di dapur.

"Di ruang kerjanya," jawab Riana.

wingless butterflyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang