03

79 18 124
                                    

Bulan dan bintang tertutupi oleh awan mendung, membuat gelapnya malam menjadi suram. Angin malam berhembus kencang menerpa raga yang telah lelah, kaki yang dipaksa jalan kini mulai tak tentu arah.

Jenan, si pemilik raga yang penuh derita, jiwa yang mulai hampa. Rasa ingin putus asa, tapi nyatanya tak bisa.

Sungguh keras perjuangannya, ia masih berharap mendapatkan hasil yang sepadan dari hidupnya.

"Ini alamatnya!" Seru Jenan kegirangan saat menemukan alamat yang dituju.

Ia berkali-kali mencocokkan alamat tersebut untuk meyakinkan jika dirinya tak salah datang di alamat yang tertera.

Ia memencet bel untuk memanggil penghuni rumah. Cukup lama Jenan menunggu hingga tak lama terlihat seorang wanita cantik berjalan keluar.

Jenan tersenyum saat melihat ibundanya tersebut yang keluar. Kedua sudut bibirnya terangkat mengembang senyuman manis yang sudah lama hilang.

"Cari siapa ya?" Tanya wanita tersebut yang bernama Aneska Retna Larasati. Ia adalah ibu kandung Jenan yang sudah lama terpisah. Sudah 12 tahun lamanya Jenan tak pernah melihat ibunya tersebut.

Rasa rindu yang selalu terpendam kini mulai terobati saat melihat wajah cantik sang ibu.

"Bunda, ini Jenan anak bunda," ucap Jenan dengan antusias.

Mendengar ucapan Jenan tersebut, Retna seketika mengubah ekspresinya menjadi marah.

"Kenapa kamu datang lagi, hah? Kamu belum puas menghancurkan hidup, karir, dan harta saya? Kamu mau apa lagi? Mau mengambil nyawa saya?"

Ucapan Retna tersebut bagaikan petir yang menyambar. Senyum yang sedari tadi mengembang kini berlarut-larut hilang.

"Bunda, Jenan...." Belum juga Jenan menyelesaikan ucapannya, tapi tiba-tiba saja disela oleh teriakan Retna.

"Aaarrrrgggg... Kamu mau apa lagi? Saya sudah capek hanya dengan keberadaanmu!" Jenan seakan hanya bisa membisu seribu bahasa saat mendengar ucapan Retna yang sangat melukai hatinya.

"Saya gak mau tahu, kamu harus pergi sekarang. Saya tidak mau karir modeling dan akting saya yang mulai naik harus hancur kembali karena kamu." Retna menutup pintunya sebagai penolakan untuk Jenan, seakan tak ada kesempatan bagi Jenan untuk mengungkapkan alasannya datang menemui sang ibunda.

Hati Jenan terasa hancur berkeping-keping atas penolakan Retna. Ia tak bisa membendung air matanya yang turun begitu saja. Ia terus menghapus air matanya yang seakan tak ada habisnya, hatinya teramat sakit melihat ibu kandungnya sendiri menolak kedatanganya.

"Jenan Lo udah terbiasa dapet penolakan," Jenan menguatkan dirinya sendiri, tapi entah kenapa seakan tak ada keringnya air matanya terus mengalir deras.

"Gue harus kemana sekarang, dompet gue ketinggalan di rumah," Jenan berjalan menjauh dari rumah Retna, ia kini merasa kebingungan harus pergi ke mana.

Kaki Jenan berjalan tak tentu arah tanpa tujuan. Saat dirasa kakinya sakit karena terus berjalan, ia pun terduduk di pinggir jalan untuk sekadar beristirahat.

Ia menghela napas panjang berharap semua bebannya hilang di setiap hembusan napasnya.

"Gue nginep di rumah teman-teman gue kali ya," ucap Jenan saat teringat masih mempunyai teman-temannya. Ia pun mengambil ponselnya untuk menghubungi beberapa temannya yang bercukupan sekiranya bisa menampung dirinya untuk beberapa hari saja.

Ia pun mulai menelpon satu per satu teman yang ia kenal, tapi sudah 4 orang temannya, ia lagi-lagi mendapatkan penolakan, berbagai alasan yang dilontarkan untuk menolak Jenan.

wingless butterflyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang