Athallah Nizar. Bagi Ayah dan Bunda, kelahirannya adalah hadiah indah dari Sang Pencipta. Akan tetapi, Nizar tak begitu mempercayai hal tersebut. Bukan karena ia kekurangan kasih sayang sehingga ragu pada ketulusan ayah bundanya. Tetapi karena dirinya yang merasa tak cukup untuk didefinisikan sebagai sebuah keindahan. Bagi Nizar, ia hanyalah seorang anak yang tak dapat memberikan kebanggaan apa-apa untuk orang tuanya.
Jika teman sekelasnya senang orang tuanya dapat hadir saat pengambilan rapor, Nizar justru sebaliknya. Remaja 16 tahun itu lebih memilih orang lain yang mengambilkan rapornya, hanya karena tak ingin membuat ayah bundanya menanggung malu. Nilainya sudah pasti menjadi salah satu yang terbawah di kelasnya---hal yang tak pantas didapatkan oleh orang terpandang seperti mereka.
Namun hari ini, Nizar tak menghalangi orang tuanya yang ingin mengambilkan rapor. Mereka sudah berusaha meluangkan waktu dari kesibukannya di rumah sakit. Sang bundalah yang mengambil hasil belajarnya, dan Nizar sudah menebak bahwa nilai-nilai di rapornya masih jauh dari target. Hal itu seketika menjadikan suasana hatinya buruk.
Nizar meratapi nilainya sepanjang sang ayah mengemudikan mobil meninggalkan gedung sekolah. Bahkan ia tak begitu terlibat dalam obrolan yang tercipta di antara ayah, bunda, dan adiknya.
"Abang mukanya beneran asem banget dari tadi. Itu tuh udah bagus loh, Bang," ujar Aidan, adik Nizar yang kini duduk bersebelahan di bangku belakang. Lelaki yang hanya terpaut umur sekitar setahun dengan Nizar itu memiliki pandangan yang berbeda soal nilai. Jika Nizar akan memikirkan nilai-nilainya sampai pusing, maka Aidan adalah manusia yang paling tidak ambil pusing. Hanya saja, kapasitas mereka memang berbeda. Jika Aidan dapat meraih nilai bagus tanpa usaha yang begitu keras, maka Nizar sebaliknya.
"Bagus sebelah mananya, jelek gini." Nizar menutup rapornya dan meletakkan benda itu di sisi tubuh. Otaknya tak henti memikirkan bagian mana yang salah sehingga hasil usaha kerasnya tak sesuai yang ia harapkan. Dengan nilai seburuk itu, entah bagaimana ia akan menghadapi pandangan orang-orang.
Raline yang duduk di kursi depan kini memandang putra sulungnya. Wanita berhijab abu itu dapat menemukan sirat kekecewaan yang begitu jelas. "Yang penting kan lebih baik dari semester sebelumnya, Bang. Tadi wali kelasnya Abang juga bilang ke Bunda kalau Abang banyak peningkatan. Udah ah, jangan ovt terus."
"Iya, Bang, bener kata Bunda. Buat Ayah sama Bunda tuh lebih penting proses daripada hasilnya. Kalau Abang udah ada kemajuan, artinya Abang udah ada usaha. Nggak harus selalu sempurna hasilnya, pelan-pelan aja." Zafran ikut berkomentar selagi membagi fokusnya pada jalan.
Meski begitu, bagi Nizar orang-orang tak akan peduli pada proses yang ia jalani. Mereka hanya akan memandang hasil akhir dan mengolok-olok dirinya jika ia terlalu jauh di belakang yang lain. "Bun, Yah, kelas 11 nanti Abang ambil les tambahan aja ya? Kalau belajar sendiri nggak kekejar."
Raline menghela napas, lantas kembali menghadap depan. Sejenak ia saling pandang dengan suaminya, seolah tengah berbagi keresahan lewat tatapan mata.
"Kalau mau les mending les ke aku, dijamin 100% nilai tuntas semua. Nggak akan menguras waktu dan tenaga juga," ucap Aidan selagi membuka sebungkus sosis yang sempat ia beli di minimarket.
"Iya, tapi menguras emosi. Lagian jangan sok pinter kamu, Dek."
"Semester depan aku juga udah SMA kali, Bang, gampang mah pelajaran SMA. Atur aja jadwalnya, les sama aku."
Nizar tertawa kecil sembari geleng-geleng kepala. Adiknya itu terkadang memang sangat besar kepala. "Iya dah, si paling."
"Ya memang, makanya les ke aku aja. Kalo bayarannya cocok, aku ngajarinnya nggak akan pake marah-marah."
"Ya ya ya, atur aja terserah kamu."
"Serius?" Aidan seketika menegakkan tubuh. Tadinya ia hanya bercanda saja, tetapi sepertinya Nizar menganggap ucapannya serius. Ia jadi semangat berbisnis dengan abangnya. "Berani pasang berapa emangnya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Selaksa Kasih
Teen FictionKatanya, anak sulung adalah pilar yang kokoh. Maka untuk setiap kelemahan yang ia punya, Nizar begitu membencinya. Katanya manusia memang tidak ada yang sempurna, tetapi Nizar hidup di sekeliling orang yang utuh tentang segalanya. Berjalan di palin...