Nizar bersyukur saat pintu toilet akhirnya terbuka, beberapa lama setelah Julian meninggalkannya. Ia berusaha membangunkan tubuh dengan berpegang pada tembok. Satu tangan lelaki itu memegangi perutnya yang masih terasa nyeri akibat pukulan Julian.
"Lo nggak papa?" tanya seorang siswa yang baru saja masuk. Lelaki itu menatap Nizar penuh tanya. Gerak-gerik Nizar terlihat seperti baru saja mendapatkan perundungan. Pun ia sebetulnya sudah curiga saat pintu terkunci, untungnya kunci itu menggantung pada pintu.
"Nggak papa, kok. Makasih ya udah dibukain." Nizar melempar senyum sekilas pada seorang yang tak ia kenal itu. Lantas ia keluar dari kamar mandi untuk menuju kelas. Lelaki itu berjalan dengan buru-buru, mengabaikan rasa sakit yang sesekali terasa di ulu hatinya.
Begitu sampai di depan kelas, Nizar dapat melihat jika pembelajaran matematika tengah berlangsung. Ia mengetuk pintu, membuat perhatian guru dan teman satu kelasnya terarah pada ia.
"Maaf, Pak, saya telat masuk."
"Loh ...." Guru bernama Bahri itu mengisyaratkan pada Nizar untuk mendekat. Ia pandangi anak didiknya itu sembari geleng-geleng kepala. "Habis dari mana kamu? Telat kok sampai setengah jam."
"Tadi ... itu, Pak, saya diare. Habis dari kamar mandi."
Pak Bahri terlihat tak menerima alasan Nizar. Tetapi guru itu tak ingin memperpanjang masalah dan mengulur waktu pembelajaran. "Ya sudah, cepet gabung ke kelompok kamu."
Nizar menatap sejenak teman-teman sekelasnya yang sudah duduk berkelompok, lantas kembali memandang gurunya. "Maaf, Pak, saya belum dapat kelompok."
"Kan sama seperti pertemuan sebelumnya."
"Saya baru pertama masuk kelas Bapak, hari Senin kemarin saya nggak masuk, Pak."
Pak Bahri mengembuskan napas keras, mulai muak dengan segala alasan yang muridnya itu berikan. "Siapa nama kamu?"
"Nizar, Pak. Athallah Nizar."
"Saya tandai kamu ya. Bibit-bibit suka bolos pelajaran pasti ini." Pak Bahri kemudian menuliskan nama Nizar pada buku catatan. Memasukkan nama anak itu sebagai salah satu siswa nakal yang harus ia awasi.
"Pak, Nizar ikut kelompok kita aja. Kita baru 3 anggota."
Pak Bahri menatap kelompok di bangku belakang yang terdiri dari Julian, Kael, dan Ergi. "Nah, kamu gabung sama kelompoknya mereka saja sana."
Nizar tentu keberatan. Ia tak segera menyetujui ucapan Pak Bahri. Menatap wajah-wajah mereka, Nizar sudah dapat mencium kejailan yang akan kembali dilakukan padanya. "Kelompok lain aja boleh nggak, Pak?"
"Kamu ini sudah datang telat, tapi masih saja nawar. Cepet gabung, kamu niat belajar apa enggak?"
Nizar pada akhirnya menurut daripada berurusan dengan guru yang terkenal tegas itu. Dengan langkah ragu, Nizar menuju bangku belakang untuk bergabung dengan kelompok Julian. Ia duduk di kursi depan Julian, bersebelahan dengan Ergi.
"Lo tuh takdirnya emang jadi mainan kita, dungu," ucap Julian yang puas sekali karena punya bahan lagi untuk memberi Nizar pelajaran.
"Senyum dikit dong, lecek amat mukanya." Ergi merangkul pundak Nizar, menatap wajah di sebelahnya yang sangat masam.
Nizar menghempas tangan Ergi, lantas menatap sengit lelaki itu. "Nggak usah sok akrab!"
Julian tertawa, tangannya dengan ringan menoyor kepala Nizar. "Nggak usah sok keras lo! Mau gue kunciin lagi sampai nggak ada yang bisa bukain?"
Nizar diam-diam mengepalkan kedua tangan. Ia berusaha sabar dan tidak terpancing oleh keadaan. Jika tidak begitu, pasti segalanya akan semakin rumit dan ia kian terpojokan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Selaksa Kasih
Teen FictionKatanya, anak sulung adalah pilar yang kokoh. Maka untuk setiap kelemahan yang ia punya, Nizar begitu membencinya. Katanya manusia memang tidak ada yang sempurna, tetapi Nizar hidup di sekeliling orang yang utuh tentang segalanya. Berjalan di palin...