Katanya, anak sulung adalah pilar yang kokoh. Maka untuk setiap kelemahan yang ia punya, Nizar begitu membencinya. Katanya manusia memang tidak ada yang sempurna, tetapi Nizar hidup di sekeliling orang yang utuh tentang segalanya.
Berjalan di palin...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Nizar semula tengah berbalas pesan dengan Aidan. Tapi ia buru-buru memperbaiki posisi berbaringnya, lantas menyembunyikan ponsel di balik bantal kala melihat ayahnya datang. Ia bisa kena marah lagi jika ketahuan asik bermain ponsel ketika seharusnya beristirahat. Lelaki itu pura-pura memejam, sesekali membuka sedikit matanya untuk mengintip apa yang ayahnya lakukan.
"Nggak usah ngintip-ngintip gitu, ntar bintitan," ucap Zafran yang telah duduk di tepian ranjang. Ucapannya berhasil membuat Nizar sepenuhnya membuka mata.
Nizar menghela napas melihat sang ayah mengeluarkan beberapa peralatan medis. Ia sudah pasrah dengan apa pun, bahkan menyerahkan diri sepenuhnya saat sang ayah mulai memeriksa kondisinya. Jika buruk, sudah pasti ia akan kembali dikurung di rumah sakit.
"Jangan dikira Ayah lupa buat kasih kamu hukuman loh, ya." Zafran memasangkan wrist band tensimeter ke lengan Nizar, hendak mengecek tekanan darah anak itu. Tatapannya sesekali jatuh pada wajah pucat Nizar, lantas tersenyum tipis melihat raut pasrah yang sangat kentara.
"Nggak apa sih, asal hukumannya bukan ditempatin di RS lagi," jawab Nizar dengan suara yang terdengar lemas. Tenaganya sudah terkuras karena segala rangkaian kenakalannya hari ini.
"Loh, ya harus. Masih rendah gini tekanan darahnya. Pusing juga kan? Tadi aja sampai muntah-muntah."
"Nggak mau, please, Yah." Nizar menatap ayahnya dengan penuh permohonan. "Habis ini bakal full bed rest, nggak akan berulah, pokoknya Abang bakal nurut semua kata Ayah."
"Nggak bisa, ini harus dibawa ke RS ini," canda Zafran, berusaha mendramatisir keadaan. Ia sejujurnya masih kesal setelah dibuat panik setengah mati oleh anak itu.
"Ah, Ayah mah gitu banget." Nizar mengalihkan pandangan pada tembok, enggan bersitatap dengan ayahnya.
"Siapa coba yang ngide buat kabur-kaburan kayak tadi? Harus terima konsekuensinya, dong." Zafran merapikan kembali beberapa peralatan medis yang ia keluarkan dari tas. Ucapannya tak lagi disambut oleh sang putra, membuat Zafran menoleh pada wajah Nizar yang sedikit membelakanginya.
Mendengar itu, seperti ada kelegaan luar biasa yang menyambangi hati Nizar. Ia kini tak lagi membelakangi sang ayah. "Nggak ke RS, kan? Makasih, Ayah."
"Tapi tetep ada sanksi. Belum aja Bunda tau, kalau tau udah nggak ngerti lagi Ayah gimana cara nyelametin kamu."
"Oke, nggak papa," ucap Nizar, meski setelahnya menelan ludah susah payah. Ia lupa jika tahta tertinggi di rumah ini belum ikut andil dalam sesi mengomelinya.
Zafran bangkit dari duduknya. Ia berdecak pelan saat menyadari celana Nizar ternyata lebih kotor dari yang ia kira. "Ganti celananya gih, debu banget. Habis ngapain kamu ini sih, Bang, nggak habis pikir Ayah tuh."
Nizar perlahan duduk, lantas mengecek celananya yang ia juga baru sadari penuh oleh noda. Setelah mengingat-ingat, ia sadar jika itu karena ia sempat jatuh ke lantai kotor saat berdebat dengan Julian.