Nizar sampai di rumah saat hari sepenuhnya gelap. Lelaki itu masih di ambang pintu untuk melepas sepatu, tetapi ia sudah dapat mendengar alarm tanda bahaya. Nizar meringis begitu panggilan dari sang bunda didengarnya. Tidak dengan nada marah, tetapi dinginnya terasa menusuk hingga relung hati.
Usai meletakkan sepatunya di rak, Nizar mendekat dan menyalami sang bunda. "Maaf banget, Bunda, Abang pulang telat." Hanya itu yang dapat Nizar ucapkan, meski tak serta merta menghilangkan raut dingin di wajah bundanya. Ia tahu, kini bundanya sedang marah dan Nizar tak akan mengelak dari hal itu.
"Tadi Abang janji ke Bunda mau pulang jam berapa?" Raline masih mencoba berbicara dengan nada tenang. Tapi tatapan yang ia hujamkan sepertinya cukup membuat Nizar merasa terintimidasi.
"Sebelum jam lima, Bun."
"Terus kenapa baru pulang? Ini udah gelap loh, Bang. Bunda telfon nggak diangkat, coba tanyain ke Julian juga sama aja. Kamu kira Bunda nggak khawatir kalau kamu ilang-ilangan begini?"
"Iya, Bunda, maaf. Tadi Abang lagi di dalem ruangan gitu, nggak bisa tau kalau di luar udah gelap. Nggak lihat jam juga, keasikan main." Nizar berkata sejujurnya, ia sungguh menyesal.
Raline rasanya ingin mengatakan lebih banyak hal untuk menasehati Nizar. Tapi melihat wajah pucat anak itu, ia memilih menahan diri. "Masuk ke kamar, bersihin badan kamu, sholat, habis itu makan."
"Iya, Bun, makasih." Nizar lekas berjalan menuju kamarnya di lantai atas. Ia tahu jika bundanya tak semudah itu memaafkan, meski dalam kata-katanya tadi masih terselip perhatian. Nanti akan ia pikirkan cara agar sang bunda tidak marah lagi. Kini ia hanya ingin segera mandi karena tubuhnya sudah terasa tak nyaman.
Langkah Nizar terhenti ketika berpapasan dengan adiknya yang tampak baru keluar kamar. Ia hanya melempar segaris senyum kecil pada sang adik. Niatnya ingin tak acuh, tetapi Aidan menghadang langkahnya dengan merentangkan kedua tangan.
"Kenapa?"
"Kan bener apa kataku, Abang pasti habis aneh-aneh. Harusnya tadi siang Abang nurut aja buat langsung pulang, malah main sama Julian."
"Aneh gimana, orang Abang cuma main biasa. Awas, Abang mau mandi." Nizar berusaha menyingkirkan Aidan, tetapi sepertinya anak itu ingin menguji kesabarannya.
"Habis diajak ngapain aja emangnya? Tumbenan banget jam segini baru pulang. Bunda dari tadi khawatir loh, Bang."
"Iya tau, Bunda udah bilang dan Abang juga udah minta maaf." Nizar bergeser hendak melewati sisi lain, tetapi Aidan ikut menggeser tubuh untuk menghadang langkahnya. Rasa lelah dan kesal mulai membuat emosi Nizar memuncak. Tapi ia masih berusaha untuk tidak meluapkan semuanya.
"Si Julian itu macem-macem sama Abang, ya? Kata Bang Laksa, dia maksa Abang buat temenan sama dia. Bener nggak?"
"Abang udah capek banget, Dek, tolong minggir." Nizar akhirnya menyingkirkan tubuh Aidan dengan paksa. Ia berjalan cepat menuju kamarnya meski di sampingnya sang adik tetap mengikuti.
"Aku aduin ke Ayah aja ya kalau dia nakalin Abang?"
Gerakan Nizar yang hendak membuka pintu kamar seketika terhenti. Ia memandang adiknya dengan raut lelah bercampur kesal. "Bisa nggak, kamu nggak usah overanalyze gitu? Abang nggak pernah bilang kalau dia nakalin Abang. Bahkan kalau iya pun, kamu nggak perlu ngaduin itu ke Ayah. Nggak semua hal harus diselesein sama Ayah atau Bunda."
"Ya kalau dia emang sering nyari gara-gara, nggak salah dong kalau kita libatin Ayah atau Bunda? Biar dia juga jera, nggak main-main lagi ke kita."
"Iya, salah! Yang ngerasain dampaknya itu Abang, bukan kamu." Nizar tak ingin lagi berdebat dengan adiknya, sehingga ia masuk dan mengunci pintu dari dalam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Selaksa Kasih
Teen FictionKatanya, anak sulung adalah pilar yang kokoh. Maka untuk setiap kelemahan yang ia punya, Nizar begitu membencinya. Katanya manusia memang tidak ada yang sempurna, tetapi Nizar hidup di sekeliling orang yang utuh tentang segalanya. Berjalan di palin...