05-Liburan

556 134 16
                                    

Raline membawa sepiring kukis yang semula tersaji di ruang tamu. Papanya baru saja pergi setelah membicarakan beberapa hal dengannya. Bohong kalau ia merasa baik-baik saja. Butuh banyak keberanian untuk bisa menghadapi papanya seperti tadi, dan sialnya perasaan Raline selalu berakhir berantakan. Namun semenyakitkan apa pun, ia tak akan menunjukkan kesedihan itu di depan anak-anaknya.

Raline meletakkan kukis buatan Nizar di meja makan. Ia duduk di salah satu kursi, lantas mengambil satu buah kukis untuk ia coba. Senyum wanita itu seketika terbit, seolah kukis buatan Nizar adalah penyembuh kesedihannya. Sungguh disesalkan sebab kue itu sedari tadi hanya menjadi saksi bisu perdebatannya dengan sang papa.

"Bunda ...."

Raline menoleh kala mendengar suara Nizar. Ia membalas senyum yang anak itu tunjukkan, lantas memintanya mendekat. "Enak banget ini, Bang. Opa pasti nyesel karena nggak mau coba," ucapnya selagi menikmati kukis di tangannya.

Nizar duduk di sebelah sang bunda, memandang wanita itu dengan senyum senang. Ia selalu suka jika Raline menikmati dan memuji makanan buatannya. Tapi di samping semua itu, Nizar juga cukup terusik dengan sudut mata bundanya yang sedikit basah dan sembab. Pasti wanita itu baru saja menangis.

"Bunda ... maaf ya ...."

Raline terdiam, tak paham dengan Nizar yang tiba-tiba meminta maaf. Ia meletakkan sisa kukis ke piring, fokus untuk berbicara dengan putranya. "Kenapa, hm? Kok tiba-tiba minta maaf? Kukisnya beneran enak, kenapa Abang minta maaf?" Raline mencoba santai, meski tahu betul jika arah pembicaraan Nizar bukan pada kukis buatannya.

"Tadi ... Opa bicarain soal Abang, ya? Maaf, Bun, tadi pas awal-awal Abang sempat nguping dikit."

Jantung Raline terasa berdesir usai Nizar menyampaikan keluhannya. Kini ia takut jika Nizar mendengar semua pembicaraan antara ia dan papanya. Sebab, ada beberapa hal yang tadi memang tidak boleh Nizar dengar. "Abang tadi denger obrolan kita sampai mana? Semuanya?"

Nizar menggeleng. "Enggak kok, cuma sekilas aja di awal. Abang denger kalau Opa nggak suka Bunda lebih mentingin tentang Abang. Maaf ya, Bunda jadi jauhan sama Opa cuma buat belain Abang."

Raline menggeleng, tak ingin Nizar beranggapan seperti itu. "Abang, sayang, itu bukan salah Abang. Apa pun yang tadi Abang denger, nggak usah dimasukin ke hati ya? Abang nggak salah apa-apa, Abang jangan sedih ya?"

Nizar tersenyum, lantas memberi anggukan. "Abang sama sekali nggak sedih, kok, Bun. Justru Abang khawatir sama Bunda, pasti perasaannya Bunda lagi kacau banget."

"Bunda nggak papa, sayang. Habis makan kukis buatan Abang langsung berbunga-bunga hati Bunda," canda Raline seraya mengambil sisa kukis yang sempat ia makan. "Pasti ada resep rahasianya, ya?"

Nizar tertawa kecil. "Jelas dong, itu bikinnya pakai cinta yang nggak ada tandingannya. Chef terbaik aja nggak akan bisa ngalahin, Bun."

Raline turut tertawa mendengar ucapan putranya yang berlebihan. "Iya deh, percaya aja mah Bunda."

Asik mengobrol, tiba-tiba terdengar suara dari arah pintu utama. Tak lama setelahnya, Aidan datang dengan tangan yang menenteng beberapa kantung kresek. Anak itu berjalan cepat mendekati bunda dan abangnya yang duduk di ruang makan. Tak lupa pula menyapa mereka dengan suaranya yang lantang.

"Maaf ya, agak telat pulangnya. Tadi mayan macet di jalan."

"Nggak papa, sayang. Bawa apa itu, Adek?" tanya Raline begitu Aidan meletakkan barang bawaannya di meja.

"Pesenannya Bunda, katanya Bunda pengen beli roti bakar sama martabak telor."

Raline seketika mengenyit, ia tak merasa pernah mengatakan itu pada Aidan. "Bunda nggak bilang apa-apa perasaan. Adek ngarang, ya?"

Selaksa KasihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang