Untuk dapat mengungkap tabir penuh dusta,
kau harus pandai menangkap semua pertanda.
Seorang perempuan setengah baya pernah menuliskan ini dalam sebuah kartu ucapan dalam rangka kelulusan Sarjana. Tidak ada buket bunga, tidak pula hadiah-hadiah khas wisuda. Hanya secarik kertas berisi satu kalimat yang ditulis dengan tangan. Sebuah hadiah paling sederhana dari seorang perempuan yang biasa ia panggil Ibu. Bukan Ibu yang melahirkannya melalui rahim, melainkan Ibu yang telah melahirkan dari jiwanya.
Perempuan yang lebih muda itu mengernyit heran, dia memeriksa kembali bungkusan yang ia terima. Berharap ada benda lain yang menyempil, namun nihil. Betul-betul hanya ada secarik kertas berwarna putih bergaris, seperti merobek asal kertas dari buku tulis. Ia membaca kembali satu kalimat itu. Satu kalimat yang saat itu tak kunjung dapat dia mengerti makna dibaliknya.
Kau terlalu naif dalam melihat dunia.
Satu kalimat lain kembali datang dari seorang perempuan setengah baya. Saat itu perempuan yang lebih muda tengah menghadapi lika-liku dunia kerja. Dia tak pernah menyangka bahwa akan menghadapi beragam praktik kotor itu di tempatnya bekerja. Pasalnya, dia bekerja di bidang yang ia sangka sangat jauh dari segala praktik kotor, tempat penuh adab dan mentransfer ilmu pengetahuan; bidang pendidikan.
Tak jarang dia menemukan sendiri segala praktik kecurangan yang dibalut begitu rapi. Di sini, semua orang seperti sedang bermain peran. Penuh kepalsuan. Ia seperti sedang menyaksikan pertunjukan teater secara nyata. Entah ending seperti apa yang akan terjadi.
Begitulah cara kerja dunia.
Penuh dusta, penuh tipu daya.
Layaknya sebuah pertunjukan teater, ada peran protagonis dan peran antagonis. Namun, dalam dunia realitas ia tak dapat dengan mudah menebak mana si baik dan mana si jahat. Ia terlalu lugu dalam melihat dunia. Ia menjalani semua dengan perasaan bingung, takut, cemas, silih berganti, berulang-alik. Satu yang ia tahu, untuk dapat bertahan dalam permainan penuh dusta ia harus segera mengambil peran. Entah peran jahat, peran baik, atau hanya sebagai figuran yang diam menyaksikan kejahatan terus menggerus kebaikan. Sampai satu pesan terakhir merasuk ke dalam hati dan akal. Pesan itu cukup untuk ia jadikan pegangan untuk mengungkap tabir kehidupan.
Kau hanya perlu membaca setiap tanda, Sabira.
KAMU SEDANG MEMBACA
LAKON
General FictionSejatinya hidup hanyalah panggung sandiwara. Menjalani babak demi babak kehidupan sesuai skenario yang telah ditentukan. Apakah dengan begitu manusia masih bisa terlihat hidup? Lantas untuk apa hidup itu sendiri? Sebuah panggung dengan cahaya lampu...