❝〔 𝗌𝗂𝗑 〕❞

118 18 75
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.




•┈┈┈•┈┈┈•┈┈┈•┈┈┈•┈┈┈•┈┈┈





Pertengahan bulan lima, sepuluh tahun silam, Biruna mengingat apa yang terjadi hari itu dengan baik. Ketika, ia dan Likana disidang habis-habisan oleh Bu Nirwa buah perkara membikin geger seantero sekolah dengan tragedi kekerasan (katanya), diberondong sekian banyak tanya. Kendati, sejauh apapun interogasi itu berjalan (sepihak), keduanya tetap teguh bungkam seribu bahasa.

Terlebih, Likana. Seorang yang sudah membikin keributan kemudian kabur entah kemana, dan tak seberapa lama muncul lalu menyerahkan diri. Turut serta membawa Biruna ke ruang konseling untuk diadili barang sedikit tak bersuara. Memang sengaja mengulur-ngulur waktu saja. Menghadapi seorang yang pandai berkutik, harus pakai tak-tik.

“Setidaknya, jika kamu tidak punya Ibu, jaga sikapmu. Di masa depan, kamu pasti akan mengalami kesulitan dalam banyak hal, karena tidak terdidik dan urakan. Perempuan itu harus menjadi penurut dan tidak banyak tingkah supaya bisa disukai banyak laki-laki.” Andai tidak Biruna tahan, mungkin mulut Pak Kepala Sekolah sudah bergeser dari tempatnya. Hei, penurut dalam konteks apa dulu. Kalau ada yang berniat melecehkan, mustahil diam saja, bukan?

Usai mengatakan hal itu tanpa rasa berdosa, pria awal lima puluh bersedekap angkuh pasang wajah paling marah duduk nyaman di sofa empuk, sedang Biruna dan Likana bahkan dibiarkan berdiri berjam-jam oleh Bu Nirwa.

Semula begitu, sampai kedua orang Likana datang tergesa sebagai wali pada detik krusial Ginan akan kembali mencemooh mereka—apalagi, jika bukan karena tidak memiliki koneksi apapun dan seseorang yang mampu membela terlepas berperan sebagai apa, pelaku atau korban atas kesalahan yang sudah mereka perbuat. Definisi lempar batu, sembunyi tangan.

“Maaf, kami terlambat.” Disambut hening, Pak Abram nampak masih pelik menerima kenyataan anaknya babak belur sedang si pelaku bahkan tak tergores seujung jari. Sedang, Bu Nirwa yang dilema (sebab diancam akan dimutasi ke pelosok desa) tak bisa berbuat banyak. Dia hanya mempersilakan kedua orang tua Likana dan dua bocah yang sejak tadi berdiri untuk lekas duduk. Membahas lebih serius kasus yang tengah terjadi. 

“Kalian baik-baik saja, kan?” Meratih, Mama Likana menatap penuh khawatir. Membolak-balikan tubuh Likana dan Biruna, bergantian. Seakan, tengah mencari sesuatu yang salah disana. Dan sekadar dibalas angguk kompak. Lantas, kembali bertanya dengan nada persuasi. “Kana, bisa jelaskan kepada Mama Papa apa yang sebenarnya terjadi, rinci?”

“Tante, anak tante yang bandel itu menghajar saya tanpa alasan. Lihat,” menunjuk area paha bengkak yang dibungkus sarung, seperti habis disunat. “Dia hampir menghancurkan masa depan saya, belum lagi wajah saya dia bikin sampai begini.” Beralih pada muka yang terdapat kain kain kasa dan plester menempel sana-sini.

“Apa itu benar, Kana?” Giliran Tyo bertanya, yang dibalas angguk kepala tetapi juga kalimat sanggah.

Likana menunjuk marah Ginan yang kini sok pasang wajah nelangsa, merasa si paling tersakiti di dunia, padahal tadi masih punya cukup tenaga untuk menambah-nambah dan menjadi kompor. “Dia hampir lecehin Biruna, teman aku. Apa aku harus diam, saja?” Kemudian, Likana mengeser Biruna agar berada di belakangnya. Layak benteng pelindung bagi si gadis yang sejak tadi menunduk. Tidak, bukan sebab tak berdaya melawan. Hanya, itu salah satu dari trik yang sedang mereka rencanakan.

retorika, tanpa kataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang