❝〔𝗍𝗁𝗋𝖾𝖾〕❞

161 40 28
                                    

*┈┈┈┈*┈┈┈┈*┈┈┈┈

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

*┈┈┈┈*┈┈┈┈*┈┈┈┈

𝘔𝘢𝘴𝘪𝘩 𝘱𝘢𝘥𝘢 𝘸𝘢𝘳𝘴𝘢 𝘬𝘦 𝘥𝘶𝘢 𝘣𝘦𝘭𝘢𝘴. Pula, masih bertajuk ulas sekilas.

Beranjak pada bulan ke lima, semester dua. Merayakan seratus hari pertama, pertemanan antara Likana dan Biruna yang siapa sangka bisa sampai pada titik itu—kemana-mana selalu berdua.

Maksudnya, Likana bukan tipikal yang mudah berbagi cerita, sedang Biruna cenderung apatis mendekati flegma. Kendati justru, perbedaan kontras itulah yang menjadikan hubungan keduanya naik satu tingkat. Semula asing, kini layak amplop dan perangko yang saling merekat.

Dimana ada Likana, sudah pasti ada Biruna.

Lantas, di rabu terik yang dua kali lipat jauh lebih menyengat—seakan matahari mampu membelah diri—tak seperti biasanya, memasuki jam istirahat, Biruna lebih pilih duduk termenung di gazebo belakang sekolah alih-alih mengisi perut kosong di kantin atau mengisi otak melompong di perpustakaan. Opsi paling mentok, ngaso di ruang musik yang full fasilitas.

Angan melanglang buana seiring suara gemericik yang ikan Likana hasilkan, mengisi gersang udara yang terperangkap di sekitar. Musim kemarau panjang tanpa hari berhujan, sama dengan kekeringan.

Dan kekeringan, adalah paceklik mencekik. Nyata, tak hanya buana, tetapi juga raga. Kian buat Biruna menyadari——

“𝘒𝘶 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘳, 𝘐𝘣𝘶 𝘮𝘶 𝘴𝘶𝘥𝘢𝘩 𝘮𝘦𝘯𝘪𝘯𝘨𝘨𝘢𝘭, 𝘺𝘢? 𝘖𝘳𝘢𝘯𝘨-𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘣𝘪𝘭𝘢𝘯𝘨, 𝘣𝘪𝘣𝘪𝘵, 𝘣𝘦𝘣𝘦𝘵, 𝘣𝘰𝘣𝘰𝘵 𝘪𝘵𝘶 𝘴𝘢𝘯𝘨𝘢𝘵 𝘱𝘦𝘯𝘵𝘪𝘯𝘨. 𝘋𝘢𝘯 𝘴𝘦𝘬𝘢𝘳𝘢𝘯𝘨, 𝘢𝘬𝘶 𝘣𝘪𝘴𝘢 𝘮𝘦𝘭𝘪𝘩𝘢𝘵 𝘴𝘦𝘯𝘥𝘪𝘳𝘪, 𝘢𝘯𝘢𝘬 𝘵𝘢𝘯𝘱𝘢 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘵𝘶𝘢 𝘭𝘦𝘯𝘨𝘬𝘢𝘱 𝘤𝘦𝘯𝘥𝘦𝘳𝘶𝘯𝘨 𝘣𝘦𝘳𝘮𝘢𝘴𝘢𝘭𝘢𝘩.”

“𝘒𝘢𝘮𝘶 𝘪𝘵𝘶 𝘣𝘦𝘳𝘣𝘦𝘥𝘢, 𝘢𝘯𝘢𝘬 𝘭𝘢𝘪𝘯 𝘮𝘦𝘮𝘪𝘭𝘪𝘬𝘪 𝘐𝘣𝘶 𝘥𝘢𝘯 𝘈𝘺𝘢𝘩, 𝘴𝘦𝘥𝘢𝘯𝘨𝘬𝘢𝘯 𝘬𝘢𝘮𝘶? 𝘏𝘢𝘯𝘺𝘢 𝘈𝘺𝘢𝘩 𝘴𝘢𝘫𝘢. 𝘑𝘢𝘥𝘪, 𝘫𝘢𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘣𝘢𝘯𝘺𝘢𝘬 𝘣𝘦𝘳𝘵𝘪𝘯𝘨𝘬𝘢𝘩.”

“𝘛𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘩𝘦𝘳𝘢𝘯 𝘴𝘪𝘩, 𝘬𝘦𝘣𝘢𝘯𝘺𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘢𝘯𝘢𝘬 𝘣𝘦𝘳𝘮𝘢𝘴𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘪𝘵𝘶 𝘥𝘢𝘳𝘪 𝘬𝘢𝘭𝘢𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘱𝘶𝘯𝘺𝘢 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘵𝘶𝘢 𝘭𝘦𝘯𝘨𝘬𝘢𝘱. 𝘗𝘢𝘴𝘵𝘪 𝘬𝘢𝘮𝘶 𝘴𝘶𝘬𝘢 𝘤𝘢𝘳𝘪 𝘱𝘦𝘳𝘩𝘢𝘵𝘪𝘢𝘯, 𝘮𝘦𝘳𝘢𝘴𝘢 𝘴𝘪 𝘱𝘢𝘭𝘪𝘯𝘨 𝘩𝘢𝘶𝘴 𝘢𝘧𝘦𝘬𝘴𝘪, 𝘮𝘢𝘬𝘢𝘯𝘺𝘢 𝘮𝘦𝘮𝘣𝘪𝘬𝘪𝘯 𝘶𝘭𝘢𝘩 𝘵𝘦𝘳𝘶𝘴.”

retorika, tanpa kataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang