*┈┈┈┈*┈┈┈┈*┈┈┈┈
Arkian, dipertemuan yang tak sengaja terealisasikan—sebab tahu-tahu Likana sudah berdiri tepat di depan pintu lobi sambil lambai-lambai tangan dramatis, menunggu wajah kusut Biruna keluar bersama tas kebesaran yang tercangklong di punggung gadis itu, dan kebetulan lain juga ibut sudah sembuh dari masa sekarat.
Sedikit informasi, walau sebetulnya tidak penting juga, Likana kurang begitu pandai mengendarai kendaraan beroda dua. Kalau-kalau memaksakan, paling menubruk tiang listrik, atau lebih parah dari itu, menabrak orang. Maka, jangan tanya alasan mengapa dia jadi penumpang melulu.
“Ayo makan.” Likana menyimpan dagu pada pundak Biruna ketika roda ibut berhenti guna tunggu lampu merah berganti kuning, kemudian hijau.
Senyum Biruna diam-diam merekah dibawah siraman lampu pedestrian yang entah mengapa, terasa sedikit hangat guna kurangi beban. Selain karena dia tidak usah kepayahan menjaga keseimbangan, sebab kaki panjang Likana berguna sesuai fungsi, sudah lama juga ia tak mendengar ajakan itu sejak keduanya lulus sekolah menengah. “Wah, ide bagus. Kebetulan, aku juga lapar. Belum sempat makan siang.”
Mendekati akhir pekan, Biruna pulang lebih awal dari hari biasanya. Adalah waktu tepat mengisi perut keroncongan sebelum 𝘤𝘰𝘴𝘱𝘭𝘢𝘺 jadi jemuran kusut di kamar, supaya ketika sudah temu rindu dengan kasur, tidak perlu khawatir asam lambung ikut menerror.
“Temanku ngasih rekomendasi resto baru. Katanya sih, masakannya enak. Deket-deket sini juga.” sambungnya lagi.
“Mahal enggak?” Likana bertanya pada pantulan wajah Biruna melalui kaca spion, memang sengaja dibiarkan begitu.
“Kemarin aku ke 𝘨𝘳𝘢𝘮𝘦𝘥𝘪𝘢, dan lihat buku kamu ada rak 𝘣𝘦𝘴𝘵 𝘴𝘦𝘭𝘭𝘦𝘳 yang dipajang paling depan. Masih ada malu tanya begitu?”
Disambut tawa lepas dari si taruna. “Masih.”
Biruna berdecih, ikut terawa—yang sebetulnya lebih layak disebut hela tak berirama. “Ada masalah apa? Enggak mungkin tiba-tiba datang jauh-jauh dari Bandung ke Jakarta kalau cuma mau bilang kangen saja. Basi.”
Alih-alih, Likana malah kian terbahak (terdengar berat dan serak) di balik punggung Biruna yang kini terdiam, dan membiarkan bahunya masih menjadi satu-satunya sandaran pemuda itu.
“Kamu selalu peka dan blak-blakan, seperti biasanya, 𝘈𝘬𝘢𝘯.” Ada segaris senyum teduh terpatri disana bersama nama panggilan yang sudah lama tak lagi mengudara.
Buat Biruna semakin membisu—𝘐𝘬𝘢𝘯, sesuai pasal kesukaan yang paling hobi memancing dan memelihara beraneka ragam ikan hias, serta 𝘈𝘬𝘢𝘯 yang lebih merujuk pada kebiasaan buruk Biruna yang tak pernah berangsur membaik, labium bilang akan, kendati anatomi tak kunjung bereaksi guna merealisasi. Suka menunda-nunda pekerjaan jika suasana hati sedang tak karu-karuan.
KAMU SEDANG MEMBACA
retorika, tanpa kata
Fanfic❝ 𝖡𝗂𝗋𝗎𝗇𝖺 𝗉𝖾𝗋𝗇𝖺𝗁 𝗉𝖾𝗋𝗀𝗂 𝗍𝖺𝗇𝗉𝖺 𝗉𝖺𝗆𝗂𝗍, 𝗋𝖺𝗂𝖻 𝗃𝖾𝗃𝖺𝗄. 𝖪𝖾𝗆𝗎𝖽𝗂𝖺𝗇, 𝖫𝗂𝗄𝖺𝗇𝖺 𝗍𝖾𝗍𝗂𝖻𝖺 𝖽𝖺𝗍𝖺𝗇𝗀, 𝗍𝗎𝗋𝗎𝗍 𝗌𝖾𝗋𝗍𝖺 𝗆𝖾𝗆𝖻𝖺𝗐𝖺 𝗄𝖺𝗅𝗂𝗆𝖺𝗍 𝗋𝖾𝗍𝗈𝗋𝗂𝗄𝖺 𝗍𝖺𝗐𝖺𝗋𝗄𝖺𝗇 𝗁...