*┈┈┈┈*┈┈┈┈*┈┈┈┈
Memasuki tanggal tua di bulan satu, langit Ibukota sepenuhnya ditikam kelabu. Hanya dengan begitu, bumantara biru terkontaminasi penuh oleh rona abu yang sendu.
Tidak mengherankan sebenarnya, ini masih termasuk musim berhujan. Abu-abu dan sembilu sementara menjadi kawan sampai matahari kembali dari waktu liburan. Menghangatkan sisi ruang terisolasi yang kepalang tersentuh dingin dan beku untuk kembali mencair ikuti arus aliran waktu ...,
Oke, itu analogi yang terlalu hiperbola.
𝘓𝘦𝘣𝘢𝘺 𝘣𝘢𝘯𝘨𝘦𝘵, 𝘵𝘰𝘭𝘰𝘯𝘨.
Intinya, mendung (yang lebih terlihat sudah siap menumpah hujan) enaknya rebahan di kostan, full paketan, dan klimaksnya punya stok persediaan makanan. Tidak ada yang lebih baik dari itu.
Kendati, karena satu alasan yang tidak bisa 𝗕𝗶𝘆𝗮𝗻𝗶𝗹𝗮 𝗥𝘂𝗵𝗮𝗸𝗮𝗻𝗮 tuturkan gamblang—walau teman sebaya lebih senang dan sayang panggil Biruna—rela sekadar kaosan dipadu celana kain panjang berwarna sama, hitam. Membelah padat lalu-lalang bersama terpa hawa dingin yang seperti jarum kecil, menusuk-nusuk kulit.
Biruna dan satu taruna yang bersedia mengisi jok belakang menjadi satu, dari sekian banyak hiruk-pikuk pagi ini yang mengisi padatnya sudut jalan raya Hos Cokroaminoto dengan selembar cerita baru yang dibawa.
“Kapan pulang ke Bandung lagi?”
Pertanyaan Biruna bagai angin yang berembus, kasar. Tersapu begitu saja kemudian redam tanpa sempat disambut jawab semestinya. Atau barangkali, si lawan bicara memang sengaja biarkan begitu. Menggantung tanpa sambut. Bisa jadi pula, faktor budeg mendadak karena bising di sekitar.
Kedua opsi tersebut cukup masuk akal.
“Harus banget, ya, Tanya begitu? Nanti bilang rindu, tidak percaya lagi.” Kalimat itu tersuara bersamaan dengan klakson truk menyalak garang, layak gagak kelaparan. Padahal, baru beberapa menit lampu sewarna merah terang itu menyala. Sudah terjadi seteru dalih banyak urusan, hei! Semua orang juga punya kesibukan.
Lebih dari itu, semesta rupanya belum rela beri restu, karena kisahnya akan dengan cepat mencapai epilog, bahkan ketika prolog belum berdialog.
Biruna ingat betul bagaimana semua bermula, tentang si pemuda yang akhir-akhir ini selalu menemuinya dan mengisi ruang yang selama bertahun-tahun kosong (tetapi bukan tentang jok motor), dan alasan mengapa hatinya kini berbunga-bunga padahal musim semi tak pernah ada.
𝘉𝘪𝘯𝘨𝘶𝘯𝘨 𝘬𝘢𝘭𝘢𝘶 𝘥𝘪𝘵𝘢𝘯𝘺𝘢 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘢𝘱𝘢.
Ketika itu, Jakarta disapa tangis semesta yang tak kunjung berhenti sejak subuh, sedang 𝘐𝘣𝘶𝘵 alias ikan buntal yang tak lain adalah motor matic kesayangan Biruna masih di bengkel, mau tak mau buatnya sementara harus sudi berdesak-desakan diantara sekian macam aroma menyengat dalam angkutan umum.
KAMU SEDANG MEMBACA
retorika, tanpa kata
Fanfiction❝ 𝖡𝗂𝗋𝗎𝗇𝖺 𝗉𝖾𝗋𝗇𝖺𝗁 𝗉𝖾𝗋𝗀𝗂 𝗍𝖺𝗇𝗉𝖺 𝗉𝖺𝗆𝗂𝗍, 𝗋𝖺𝗂𝖻 𝗃𝖾𝗃𝖺𝗄. 𝖪𝖾𝗆𝗎𝖽𝗂𝖺𝗇, 𝖫𝗂𝗄𝖺𝗇𝖺 𝗍𝖾𝗍𝗂𝖻𝖺 𝖽𝖺𝗍𝖺𝗇𝗀, 𝗍𝗎𝗋𝗎𝗍 𝗌𝖾𝗋𝗍𝖺 𝗆𝖾𝗆𝖻𝖺𝗐𝖺 𝗄𝖺𝗅𝗂𝗆𝖺𝗍 𝗋𝖾𝗍𝗈𝗋𝗂𝗄𝖺 𝗍𝖺𝗐𝖺𝗋𝗄𝖺𝗇 𝗁...