*┈┈┈┈*┈┈┈┈*┈┈┈┈
Satu dasawarsa memperingati gemuruh riuh yang sempat menerjang di kota Bandung. Kalau boleh berkata jujur, Biruna tak pernah membenci kampung halaman atau bahkan salah satu penghuni yang membuatnya merasakan pahit cinta tak bersambut—untuk bagian ini, Biruna turut berkontribusi menjadi 𝘴𝘦𝘣𝘢𝘣 berakhir 𝘵𝘳𝘢𝘨𝘦𝘥𝘪.
Tentu, Biruna tak sedrama itu. Hidup harus tetap berjalan tidak peduli apa saja yang sudah terewati di masa lalu. Karena, menoleh ke belakang hanya akan membuatmu kembali tersandung, terjerembab dalam kubangan luka usang yang bahkan belum sempat kering.
Lebih dari itu, alasan Biruna enggan terlalu sering datang ke sana karena, Ayah sudah menikah lagi. Dan Biruna tak sudi membuang-buang tenaga sekadar untuk merasa cemburu sebab beliau seolah sengaja berhenti peduli dan lebih mementingkan keluarga barunya. Atau, menurunkan satu tingkat harga diri guna menuntut hak dan kewajiban yang memang sudah seharusnya masih Biruna dapatkan dari Ayah, sebagai alasan; putri satu-satunya, kandung.
Alasan lain, Biruna tidak mau menangis terlalu lama di pusara Bunda yang kini entah bagaimana bentuknya, karena hanya Biruna bersedia bersihkan rumput ilalang yang acapkali tumbuh di sana.
Itupun, paling satu tahun dua kali. Tidak bisa sesering dulu, ketika dia masih kuliah. Selain karena sibuk bekerja, masih terdapat hal mengganjal lain. Apalagi, jika bukan pasal rumit bernama problematika hati—tak sesederhana yang dikira.
Entahlah, Biruna lebih suka mereka menjadi asing—Ayah atau Likana. Itu jauh lebih baik. Setidaknya, perasaan yang pernah tumbuh subur bisa terkubur dengan mudah. Diam tidak akan menyelesaikan masalah, tetapi dengan diam tak akan menambah masalah.
Dan kini, seakan hidupnya diganti dengan genre komedi, salah satu hal yang Biruna hindari duduk tepat di hadapan, dengan semangkuk bubur panas yang masih kepulkan asap bersuhu hangat ketika mengenai wajah ditengah terpa cuaca tak begitu ramah di minggu pagi menuju siang ini.
Jangan tanya mengapa, minta saja penjelasan kepada si pelaku yang pagi-pagi buta menggedor kamar kost miliknya dengan cengiran mirip keledai minta diajak jalan-jalan. Memaksa Biruna keluar hanya bermodal sendal jepit dan baju ala kadarnya.
“Siapa? Pacarmu, Na?” Namanya Pak Barna, pemilik warung tenda sederhana (memiliki kepribadian gaul layak anak muda) dengan aneka menu tak kalah bersahaja bagi kantong-kantong kempis yang suka mencari makanan enak tetapi tidak membikin dompet berteriak. Melirik intens sarat tanya kepergian Likana yang berlalu karena tiba-tiba ada panggilan alam katanya. Berhubungan dengan seni atau tahi, Biruna tidak tahu pasti. Tidak mungkin juga dia bertanya. Itu termasuk privasi, dan ya, agak jijik.
KAMU SEDANG MEMBACA
retorika, tanpa kata
Fanfic❝ 𝖡𝗂𝗋𝗎𝗇𝖺 𝗉𝖾𝗋𝗇𝖺𝗁 𝗉𝖾𝗋𝗀𝗂 𝗍𝖺𝗇𝗉𝖺 𝗉𝖺𝗆𝗂𝗍, 𝗋𝖺𝗂𝖻 𝗃𝖾𝗃𝖺𝗄. 𝖪𝖾𝗆𝗎𝖽𝗂𝖺𝗇, 𝖫𝗂𝗄𝖺𝗇𝖺 𝗍𝖾𝗍𝗂𝖻𝖺 𝖽𝖺𝗍𝖺𝗇𝗀, 𝗍𝗎𝗋𝗎𝗍 𝗌𝖾𝗋𝗍𝖺 𝗆𝖾𝗆𝖻𝖺𝗐𝖺 𝗄𝖺𝗅𝗂𝗆𝖺𝗍 𝗋𝖾𝗍𝗈𝗋𝗂𝗄𝖺 𝗍𝖺𝗐𝖺𝗋𝗄𝖺𝗇 𝗁...